Fragmen 2

666 38 0
                                    

Kita semua berdiri di sini.

Di titik ini.

Di titik di mana kita harus bertarung sekali lagi.

Di titik ketakutan yang harus kita hadapi.

Di titik masalah yang harus kita taklukkan.

Di titik di mana kita harus berjuang, bertarung sampai mati demi satu tujuan yang kau anggap mulia dan berharga.

Tapi jujur, bagiku ini terlalu berlebihan. Kau korbankan semua mimpi dan masa depanmu demi tujuan ini.

Tujuan yang berkali-kali kita gagal lakukan.

Kau tetap bersikeras ingin melakukannya meski kau menyadari bahwa ini tak ada gunanya.

Semua orang terdekatmu telah mati dan tak ada transaksi lagi untuk dilakukan.

Transaksi untuk menghidupkan mereka yang telah mati.

Aku tidak menginginkan pertempuran ini.

Aku tidak ingin melihatmu seperti ini—dingin—dan cuma satu hal yang selalu ada di pikiranmu; mengalahkan mereka dan menyelamatkan anak-anak.

Kau tak pernah peduli dengan masa depanmu kelak—cita-cita, pekerjaan, dan keluarga. Kau korbankan semua itu dan hal itulah yang selalu aku tolak.

Kenapa kau harus mengorbankan kepentinganmu?

Kebutuhanmu?

Demi orang lain?

Terutama demi anak-anak?

Aku tahu kau pahlawan. Kau sudah berbuat baik padaku.

Pada desa kami.

Pada anak-anak.

Tapi aku belum pernah bisa membalas semua kebaikan itu karena kau terlalu egois.

Pahlawan yang egois.

Jujur aku lelah dengan semua ini. Berlatih dan bertarung selama bertahun-tahun.

Aku ingin bebas. Ingin lepas dari tanggung jawab yang tak pernah aku ataupun kau terima. Tak ada tanggung jawab yang terikat dengan kita.

Aku ingin hidup sebagai gadis normal.

Tinggal di kota.

Di rumah itu.

Kuliah bersamamu.

Kencan denganmu.

Bercanda.

Tertawa.

Bebas.

Dan beberapa tahun kemudian aku menikah denganmu.

Hidup bahagia.

Berkeluarga.

Punya anak.

Dan anak kita tak perlu tahu dan tak perlu berurusan dengan mereka; sang peneror.

Aku ingin hidup seperti itu. Aku tak mau seperti ini. Melaksanakan kewajiban yang mereka—penduduk desa dan nenekku—bahkan tak memaksamu bertarung lagi sejak setahun lalu.

Harusnya kau bebas dan harusnya akulah yang berjuang demi desaku dan anak-anak. Tapi kau ngotot ingin terus mengalahkan mereka bahkan sendirian. Mengalahkan sekawanan pasukan yang jumlahnya tak terhingga itu.

Bagaimana mungkin kau bisa menang dengan melawan mereka sendirian?

Tak pernahkah kau terpikir tentang logika itu?

Kau bukan Super Hero.

Kau bukan Superman.

Kau hanya manusia biasa.

Kau bisa lelah dan mati.

Dan di saat kau mati, mereka akan tertawa melihatmu (Setidaknya itulah yang aku pikirkan) dan perjuanganmu akan sia-sia belaka.

Seperti yang aku katakan. Aku lelah dengan semua ini. Aku menolak pertempuran ini lagi. Bukannya aku takut aku mati. Aku takut kehilanganmu. Begitu juga sama halnya denganmu. Takut akan kehilanganku.

Lalu kenapa kau terus melakukan pertarungan ini?

Tak bisakah kau mengerti keinginanku?

Kau selalu bilang padaku agar aku tetap diam. Diam di rumah tanpa melakukan apa-apa. Menunggumu pulang dari pertarungan itu seperti janjimu bahwa kau akan pulang dengan selamat. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa diam sementara kau berhadapan dengan kematian?

Benarkah kau mencintaiku?

Benarkah kau tahu aku sangat mencintaimu?

Bisakah kau mengerti keinginanku?

Aku yakin kau pasti belum bisa. Baiklah, aku terima itu. Aku yang akan mengalah padamu tapi bukan berarti aku akan diam.

Aku ingin selalu di sampingmu.

Aku ingin selalu bisa diandalkan olehmu.

Ke mana pun kau pergi, aku ingin selalu berada di dekatmu.

Jika itu artinya aku harus ikut bersamamu menuju kematian, tentu aku akan ikut. Dan kau tak akan pernah bisa menghentikan keinginanku yang satu itu.

Danny, jangan mengkhawatirkanku.

Aku kuat.

Aku bahkan berkali-kali pernah menyelamatkanmu.

Aku tidak akan mati dalam pertempuran ini.

Seperti yang sudah-sudah, aku akan lolos dan begitu pula denganmu.

***

Kie Light #2: Tunggang Gunung (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang