Fragmen 27

100 8 0
                                    

"Danny! Danny! Jangan lakukan itu! Jangan pergi! Masih ada cara lain! Jangan tinggalkan aku!" pekikku berkali-kali.

Dengan berurai air mata dan sebilah pedang patah di tangan kiriku, aku terus berlari mengejarmu. Mengejar dirimu yang tengah dipeluk iblis itu dan dibawa melayang mundur olehnya.

Aku berusaha menggapaimu, mendapatkanmu kembali. Tapi, kau tak sekalipun meraih lengan yang aku ulurkan padamu seakan kau lebih nyaman dan memilih pergi bersama makhluk terkutuk itu dari dunia ini.

Aku tak mampu menyelamatkanmu dari cengkraman iblis jahanam itu. Aku malah jatuh ke dalam jurang dan mati untuk waktu sesaat.

Aku tahu kau telah mengadakan transaksi dengan Sandekala terakhir yang tersisa senja itu. Bertransaksi untuk menghidupkan kembali diriku dan seluruh saudaramu yang telah mati di tahun pertama pertarungan kita dengan mereka—empat tahun lalu. Transaksi yang berlaku dengan syarat bahwa mereka ingin mengambil jiwa dari tubuhmu. Jiwa yang sejak awal hendak orangtua kandungmu berikan pada mereka.

Aku terbangun dari tidur. Mimpi itu kerap datang menghantui apalagi sejak kau memutuskan untuk pergi dari rumah ini dan tinggal bersama orangtua angkatmu.

Aku mengerjap mata. Kepalaku terasa pening saat aku memikirkan tragedi yang telah kita alami. Jika bukan karenamu dan mungkin bukan karena anak-anak yang ketakutan, aku tak sudi berurusan dengan mereka lagi. Rasanya ingin segera mengakhiri mimpi buruk ini. Keluar dari fantasi yang mengancam dan hidup dalam kenyataan secara nyaman. Tentunya bersamamu, orang yang paling aku cintai. Tapi, aku sungguh yakin apa yang akan kita lakukan adalah hal terakhir. Setelah kita berhasil mengalahkan sang Raja, kuharap kau menepati janji yang kau ucapkan padaku. Bahwa kita akan hidup bersama secara normal. Ya, aku akan bertahan sedikit lagi untuk meraih mimpimu—meraih keinginan anak-anak—memusnahkan sang Raja dari muka bumi.

"Shan? Kau sudah bangun?" sahut Ian dari dapur.

Kudengar dia tengah memasak sesuatu. Bahkan aroma makanan itu tercium hingga kamarku yang berantakan oleh tumpukan kertas kerja dan miniatur beragam senjata yang kubuat. Aku beranjak dari kamar dan mendekatinya.

"Masak apa, Kak?" tanyaku langsung duduk di kursi. Menyandarkan tanganku di atas meja seraya memegangi kepalaku yang masih sedikit pusing.

"Buat nasi goreng," jawabnya sembari mengaduk-aduk nasi goreng dalam wajan.

"Kau sakit?" tanya Ian melirikku yang terlihat lesu.

"Hanya ... sedikit lelah. Aku mungkin belum makan dari kemarin," ucapku tersenyum konyol tapi kutahu Ian tahu bahwa senyumanku ini tampak dipaksakan.

"Beruntung, aku punya ramuan penambah stamina. Kemarin aku memintanya dari rekan kerja. Aku sudah mencampurkannya ke dalam nasi goreng ini."

Ian menuangkan nasi gorengnya ke dalam piring dan dihiasi secara cantik oleh sayuran rebus dan telor mata sapi yang menggoda.

"Hmmm ... aromanya lezat," kemudian aku mencicipi satu sendok. "Lebih enak dari buatanku, kenapa kakak tidak jadi koki saja," ucapku berusaha mencairkan suasana.

Lagi pula aku tak ingin membuat Ian khawatir denganku. Berusaha untuk bersikap layaknya biasanya.

Ian hanya tersenyum lebar melihatku yang makan lahap seperti orang kelaparan.

"Shan, bagaimana kemarin? Menyenangkan?" tanya Ian dengan sorot mata yang tampak penasaran. Tangannya memainkan sendok yang dia pegang seakan ragu untuk menanyakan hal itu.

"Senjata yang aku buat sempurna dan kami bisa mengalahkan Sandekala dengan mudah."

"Bagaimana kabar Danny?" tanyanya.

"Masih sama. Dia tetap dingin tapi aku kira kali ini dia mulai melunak."

"Hmmm ... syukurlah kalau begitu."

Aku menatapnya sesaat. Tatapan yang menunjukkan kerinduan. Dan tentu saja, tak ada hal lain yang dia rindukan, kecuali dirimu. Kadang aku merasa ada perasaan khusus yang tak bisa terjelaskan antara dirinya denganmu, Danny.

"Apa kak Ian ingin bertemu dengannya?"

"Meski begitu, apa yang bisa aku lakukan, Shan. Ini keputusan Danny. Aku tak ingin keras kepala. Jika Danny lebih nyaman begitu, aku menerimanya. Aku tak ingin dia merasa terbebani olehku."

Matanya tampak berkaca-kaca. Aku tidak tahu maksudnya tapi aku yakin ini semua ada hubungannya denganmu. Mungkin Ian ingin bersama kau dan menganggapnya sebagai kakakmu sendiri seperti dulu lagi.

"Lalu, apa yang kalian rencanakan kali ini untuk memusnahkan para Sandekala?" tanyanya.

"Kami akan pergi ke dunia mereka, dan mengalahkan sang Raja. Tapi kami harus menemukan tiga buah Kristal untuk membuka portal di hutan hitam."

"Pasti itu sangat berbahaya."

"Iya, mungkin. Aku tidak tahu," ucapku ragu.

"Tapi, aku yakin kau dan Danny bisa selamat," ucapnya sembari tersenyum dipaksakan.

Aku membalasnya dengan senyuman tipis. "Semoga saja."

"Kak, bukahkah hari ini kau libur? Hari ini tak ada tugas yang aku kerjakan di kantor. Lagi pula kampusku libur selama musim panas. Maukah kau bertemu dengan nenekku ke desa Nekala," pintaku. "Nanti sore kami akan berunding soal rencana itu. Kuharap kakak mau bertemu dengan Danny untuk sekedar berbincang-bincang."

Entahlah apa maksudku ini. Rasanya aku tak ingin menyembunyikan rencana yang hendak kita lakukan dari Ian. Bukankah, dia pernah menjadi bagian dari peperangan ini tempo lalu. Meski kali ini Ian tak ikut dalam pertempuran, tapi tak ada salahnya jika kita membiarkannya tahu apa yang kita lakukan di hutan hitam.

Ian hanya mengangguk pelan. Dan kami pergi ke desa Nekala setelah selesai makan.

Ian memarkirkan motornya tak jauh dari rumah nenek.

Kami mengunjunginya.

Ian menyapa nenek.

Membiarkan mereka berbincang-bincang.

Sedangkan aku hanya berdiri di tepi desa. Mengedarkan pandangan ke hutan hitam yang terlihat indah di pagi hari yang cerah.

Kau ingat saat pertama kali bertemu denganku 5 tahun lalu?

Saat itu sedang berlangsung pernikahan kakakmu—Ronny—di desa sebelah. Kita berbincang-bincang lalu kau bersama sepupumu mengantarku pulang ke desa ini. Kita mengobrol bersama di atas Tablestone—bukit kecil berbatu yang berbentuk seperti meja di hutan hitam tak jauh di hadapanku.

Kau sadar bahwa desa inilah yang kau cari. Desa yang kerap datang menghantui tidurmu di kala malam. Dan akhirnya kau mengetahui bahwa kau terkena kutukan. Para Sandekala mengutukmu dengan bola mata berwarna biru. Hendak mengambil jiwamu di ulang tahunmu yang keenam belas.

Sejak saat itu, kita berdua dan kesepuluh saudaramu mulai berlatih bertarung di hutan ini dengan senjata-senjata keramat yang diberikan Parmoun pada kita. Senjata keramat yang dapat memunculkan Kinzoku Light—cahaya hebat yang dapat mengalahkan Sandekala dengan cepat.

***

Kie Light #2: Tunggang Gunung (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang