Fragmen 10

217 14 0
                                    

Jam istirahat makan siang pun berakhir. Aku pergi dari kantin. Membawa tas selendangku dari ruangan Miss Alley, kepala desainerku itu. Aku harus pergi ke ruang kelas mengikuti beberapa jam pelajaran di kampus U.K.L sebelum bekerja kembali dengan wanita itu. Universitas terletak beberapa ratus meter dari perusahaan.

"Shan!" panggil seseorang dari belakang mahasiswa lain yang juga menuju ke Universitas.

Aku lihat Shen di sana. Wajahnya kusam dan pucat. Seperti habis melihat hantu.

"Dia ingin bertemu langsung denganmu," ucap Shen pelan.

"Kau kenapa?" tanyaku heran.

"Masuk saja ke ruangannya dan kau akan merasakannya sendiri."

Dia menarik lenganku dan membawaku ke lokasi Pak Tua itu berada.

Perusahaan Kie Light benar-benar luas seperti kota dalam gedung. Bahkan perusahaan yang menampung karyawan sebanyak ini tidak terlihat terlalu padat. Banyak ruangan, belokan, jalan-jalan kecil yang bercabang dan rumit. Memiliki 7 lantai ke atas dan 7 lantai ke bawah tanah. Kami naik lift turun menuju lantai bawah tanah paling dasar. Tempat di mana senjata-senjata rahasia diproduksi.

Suasananya cukup panas dan warnanya senja. Aku melihat beberapa titik sudut nyala api di ujung. Kami menuju ke sana. Berjalan di atas lantai besi carang sehingga kami dapat melihat apa yang ada di bawah. Yaitu deretan kerangka senjata logam yang baru dibuat. Banyak karyawan di bawah sana. Bermandikan keringat karena panasnya udara.

Aku lihat di sudut jauh tenyata cahaya itu adalah lelehan cairan logam panas yang mendidih.

Kami berbelok di tikungan pertama. Menuju sebuah ruangan berwarna putih, cerah, dan sejuk.

"Tunggu di sini," ucap Shen langsung keluar dari ruangan itu.

Aku duduk di sebuah sofa yang empuk dan nyaman membuatku rileks. Karena di ruangan yang tak terlalu besar ini udaranya sejuk. Rasanya seperti menemukan oase di gurun Sahara. Atau rasanya seperti singgah di beranda surga setelah tadi berjalan-jalan di halaman neraka.

Tak lama kemudian seseorang masuk. Seorang bapak gendut berumur 60 tahun yang memakai kemeja dan helm kerja berwarna kuning. Kulitnya coklat berpeluh keringat. Rambutnya putih dengan kumis tebal yang juga dipenuhi uban. Dia tampak garang.

Di belakangnya, Shen mengikuti dan duduk di sampingku dengan muka yang terus menunduk. Sedangkan bapak berplat nama Erland di dadanya itu duduk di balik meja kayu di depan kami.

"Keluarlah Shen. Kerja kembali atau mengikuti pelajaran di sana. Terserah kau! Aku ingin bicara berdua dengan Nona muda ini," sergah Pak Tua itu.

Shen langsung keluar dari ruangan itu dan pergi entah ke mana.

"Jadi, ada yang ingin Anda bicarakan, Nona?" tanyanya sopan tapi tegas.

Jantungku berdegup kencang. Belum apa-apa aku sudah merasakan sesuatu yang janggal di sini.

"Begini, pak," ucapku mengawali.

Dia menatapku lekat.

"Seperti yang Shen bilang, saya mau meminta izin untuk—" aku bergeming kebingungan. Apalagi bapak itu memperhatikanku dengan serius "—meleburkan sesuatu."

"Iya, terus. Apa yang ingin Anda leburkan?" tanyanya.

"Iya, seperti yang Shen bilang ke Bapak. Meleburkan ... sejumlah ... lempengan logam ..."

"Logam apa? Dan untuk apa?" tanyanya ganas.

"Seperti yang Shen bilang. Logam-logam itu emas ... perak ... perunggu ...," ucapku sembari tersenyum takut-takut.

Kie Light #2: Tunggang Gunung (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang