Twentieth

82 3 0
                                    

VOTE SEBELUM BACA!!



Data tentangku dan Ameera, empat tahun yang lalu. Dari tanggalnya aku tahu, dari cara pengetikkan data, aku tahu. Bahwa Layla sendiri yang menyelidikinya.

Dan puncaknya adalah sebuah kertas, dengan wajahku diatas wajah Ameera, tanpa sehelai benang pada tubuh. Disana, tertera tepat tanggal 1 April, 1990.

Dalam benakku dengan cepat 'apa selama ini dia menahannya? Apa selama ini Layla berpura-pura? Lalu? Saat aku dan dia merayakan 7 bulan bayi kami?'

Aku frustasi. Sesekali memandang Layla yang nampak tertidur. Esok paginya, aku mencancel semua pekerjaanku dan mengalihkannya pada tangan kananku, dalam waktu yang entah kapan akan selesai.

Aku selalu menemani Layla yang kini memakai kursi kemanapun. Aku selalu berusaha membuatnya tersenyum. Namun, apa boleh buat..

Sakitnya hati seorang wanita takkan pernah terhapus dengan segala cara apapun. Aku bercermin. Begitu kejamnya aku menelantarkan anak demi wanita satu malamku?

Tapi aku mencintai keduanya.

Layla tak pernah tersenyum ataupun menangis. Ia hanya memandang denhan kosong. Makanan pun jarang disentuhnya. Aku semakin khawatir. Takut bagaimana kedepannya Layla dan putriku.

Hingga suatu saat, aku mengajak Layla ke danau. Ia menolak, namun kupaksa. Dan akhirnya mau. Kami menghabiskan waktu bersama selama tiga hari. Namun, bukan yang aku inginkan yang aku lihat. Tapi, kondisi Layla yang semakin mendiamiku.

Dia selalu memghindar walaupun hanya akan aku sapa. Ia lebih suka didorongkan kursi oleh staff hotel daripada olehku. Sampai Ia menyewa seseorang untuk mau mendorongkan kursinya. Sebegitukah bencinya Layla padaku? Sebegitu dalam luka yang ku beri?

Hingga, kami berdua diam di ujung jembatan kayu. Aku memangkunya untuk ikut duduk. Memulai percakapan yang selalu dijawab dengan anggukan atau gelengan. Sampai suatu saat, mulutku tak bisa terkontrol karena emosiku yang mulai naik akan kelakuan Layla.

"Aku ini suamimu atau siapamu, hah?!"

Layla melirikku tajam, lalu kembali menatap ke depan.

"Jawab aku Layla!" Bentakku dengan memegang rahang bawahnya untuk menatapku.

Berharap Layla takut, tapi wanita itu menatapku dingin. Seolah bukan dia yang ada di sana, bukan Layla yang ada pada dirinya.

"Apakah aku istrimu atau cadanganmu?"

Pertanyaan itu terlontar begitu dingin.
"Kau baik padaku hanya karena kau menitipkan nyawa padaku, kan?"

Farizi mundur sedikit, mengimbangi jarak dari ucapan Layla yang begitu dingin.

"Aku-"

Belum sempat Farizi berkata lagi, Layla sudah memotongnya dengan mengangkat tubuh ke arah kursi roda.

"Kau ingin kesempatan kedua?" Tanyanya dijawab anggukan Farizi

"Temani aku saat aku berjuanf mengeluarkan hasil yang kau tanam di rahimku, atau aku akan meninggalkanmu selamanya"

Itu bukan permintaan, melainkan perintah.

Tepat saat Layla akan melahirkan dan masuk ruang persalinan, ponselku berdering entah dari siapa. Yang pasti, orang disana berkata, bahwa Ameera meninggal.

Aku terpukul. Kalut, dan langsung terbang ke Palembang, Indonesia. Ameera meninggal karena kecelakaan. Ku boyong jasadnya kemari, ke Bandung.

Ameera menitipkan sepucuk surat penuh teka-teki yang harus kupecahkan dengan rentang waktu yang sangat lama. Karena setiap petunjuk yang ada di dalam surat bisa menunjukkan petunjuk 3-5 tahun kemudian.

Sorenya, aku kembali ke Qatar. Dan apa yang kulihat?

Layla sekarat!

Ia meregang nyawa, karena kehabisan darah setelah melahirkan putriku. Putri yang sangat cantik!

Ia menatapku dengan tatapan tajam, mengintimidasi. Lalu dengan lemah ia berkata "kau melanggar janjimu". Kemudian Layla tersenyum, tertawa sumbang dan kembali berkata "Terima dia apa adanya. Senja Arisha Rayla. Jika tak sesuai dengan apa yang kamu harapkan, itu setimpal dengan kebohongan besar yang kau buat dan bodohnya aku berani berkorban demi seorang pengecut sepertimu. Jaga, rawat dan sayangi dia. Jangan biarkan putriku menderita seperti aku, olehmu. Mas"

Itulah ucapan terakhirnya. Aku dendam pada takdir, marah pada sang pencipta. Bagaimana bisa, aku hidup jika seperti ini? Aku frustasi, membuang segala kenangan hidup, menyimpan semua barang Ameera atau Layla di tempat yang takkan aku sentuh lagi.

15 tahun kemudian, putriku tumbuh hampir sempurna. Diiringi surat Ameera yang muncul kembali. Seorang pemuda menyerahkan sebuah surat, langsung ke hadapanku. Surat itu berisi tentang tes DNA, cerita, tulisan tangan Ameera, fotonya, dan foto masa kecil pemuda dihadapanku.

Thomas Advison. Putra Ameera dan aku.

Ingin sekali aku memeluknya. Namun, kenyataan dan takdir terlalu kejam dan sadis. Terlalu cepat rasanya aku memberitahu Thomas, karena Ameera sendiri tak pernah memberitahu keberadaanku sendiri.

Thomas yang berumur 19 tahun dan Senja yang berumur 15 tahun. Potongan wajah Thomas sangat mirip denganku. Dan Senja sangat mirip dengan Layla. Akhirnya, takdir mengizinkanku untuk berbahagia, dengan dua mutiara hatiku.

Namun, kenyataan pahit yang harus aku terima. Senja cacat. Paru-parunya tidak berkembang sejak usianya 7 bulan dalam kandungan. Aku ingat.. itulah titik dimana Layla mengetahui segalanya. Aku mengerti, saat itu aku menelantarkannya di Qatar. Hingga Ia nekat dengan tak mengurus bayi di kandungannya. Hingga pada akhirnya, yang kudapat adalah kehilangan keduanya- Ameera dan Layla.






Gua sibuk banget!!


Savor, JaGa


KatanaAzzura

Senja Dalam Jingga (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang