VOTE!
Aku masih disini, di tempat yang begitu menyakitkan saat Senja masih dalam pemeriksaan.
Hingga dering ponsel membuatku harus beranjak.
Hujan
Itulah nama yang tertera saat aku menyalakan layar. Aku menekan tombol hijau
"Halo?"
"Kau dimana?"
"Di--" aku berfikir ulang untuk memberi tahu pria ini "ada apa?" Ucapku akhirnya
"Tidak, aku hanya ingin bercerita sedikit"
"Hanya itu? Tidak bisakah kau menunggu esok hari?"tanyaku emosi
Terdengar nafas berat di ujung sana "Okay. Thanks, Jingga"
Aku mengendikkan bahu "yaa, no problem"
Aku berdiri, berniat menuju kamar. Namun lengkingan teko membuatku teralih. Aku mematikan kompor, kmeudian memainkan pisau dan mulai memanaskan minyak. Suara air yang berbenturan dengan minyak terdengar jelas. Wangi dari bahan dasar makanan tercium menyengat. Menggoda siapapun untuk mendekat.
Benturan antara susuk yang kupegang dengan wajan terdengar nyaring beberapa kali. Aku menaburkan garam, penyedap rasa, serta bumbu lainnya.
Warna masakan berubah kecoklatan, otomatis saja kompor ku matikan. Lalu menyalin hasil pada piring bundar yang datar. Mencuci tangan, dan mencabut daun parsley dan menaburkannya.
Aku menyimpannya pada meja makan. Saat itu pula, wanita itu.. keluar. Wanita yang sempat aku cintai
"Wangi sekali" ucapnya dengan memejamkan mata.
Aku bersingut mengambil alih yang ada pada gendongannya. Beberapa kali kami berbincang. Namun rasanya ini perbincangan basi. Aku segera mengakhirinya.
"Apa tidak ada niatmu untuk turun ranjang?" Ungkapku tanpa sungkan.
~*~*~
Hari sudah hampir gelap saat Emma berdiam di kamar Senja.
Beberapa kali Senja menanyakan Jingga. Hampir setiap pertanyaannya, selalu dijawab "pergi" oleh Emma. Hingga akhirnya Suster senior itu kesal
"Kau mencintainya?" Suster Emma memejamkan mata menikmati angin yang berhembus dari jendela.
"Jangan bercanda! Tidak mungkin, lah!" Tolak Senja.
"Kenapa?"
Gadis itu mengerutkan alis "apa-"
"Kau tahu maksudku, sayang" Kini Emma berbalik
"Apa--" Senja terdiam sebentar "Jika kita merindukannya saat dia tidak ada disekitar kita, dan kita juga membutuhkannya.. aku juga suka saat dia tertawa, caranya tersenyum, atau membuat hal aneh" Senja melayangkan ingatan, dan sesekali tersenyum geli "aku juga cemburu saat Ia mengabaikanku hanya untuk telfon, meski itu seorang pria"
"Jadi?"
Senja memberanikan menatap wajah Emma "apakah itu- cinta?"
Emma terkekeh "Cinta itu tersirat bukan tersurat. Sebanyak apapun kamu menafsirkannya, takkan cocok dengan apa yang kamu rasakan. Sekalipun kamu bertanya pada pasangan yang abadi sampai tua.. mereka tak mampu menjelaskannya"
"Aku tak mengerti. Kenapa-"
Baru saja Senja berkilah, Emma langsung memotongnya. "Kamu harus bisa memantapkan hatimu. Kamu harus memastikannya pada orang yang kamu cintai"
Senja mengangguk.
Cklek!
"Jingga?" Ucap Senja berbarengan dengan Emma
"Hai" pria itu tersenyum. Pandangannya mengarah pada Suster Emma lalu mengangguk, kemudian menatap wanita yang duduk di atas ranjang.
"Hai, bunny! How are you?"
Wajah Senja yang semula cerah berubah masam "what?! Bunny?!!"
Jingga tertawa pelan "ayo-"
Dering telfonnya bersua. Ia mengangkatnya sebentar "Halo? Ya? Jam 4?" Jingga memutar tubuhnya ke arah jam dinding. "Ini masih pukul 3!"
Senja menunduk. Entah kenapa, Ia mempunyai feeling tidak bagus akan hal ini. Hingga Jingga mengakhiri panggilan telfon dan menatap gadisnya
"You alright?" Tanyanya. Dijawab gelengan lemah dari Senja.
"Apa kau akan meninggalkanku lagi? Ah, maksudku- aku-"
Ucapannya terhenti oleh air yang menetes tanpa izin.
"Kau kenapa? Aku melakukan apa?" Jingga panik.
"Aku-" Senja mengeratkan cekalan pada selimut yang Ia pegang. Lalu meyakinkan diri untuk menatap manik hitam di hadapannya. "Kau tahu? Aku baru saja mau memastikan sesuatu. Meyakinkan apa yang aku rasa. Dan memastikan rasaku untuk siapa."
Tangan Senja menangkup wajah pria di hadapannya. Ibu jarinya bergerak ke kanan dan kiri. "Aku tidak tahu apa namanya ini. Aku meyakinkan hati, memantapkan keputusanku untuk ini" tangan Senja turun perlahan.
Jingga menelan salivanya kasar. Wanitanya ini begitu membingungkan. Rasanya seperti berada di Labirin Daedalus.
Air mata Senja terus mengalir. Bahkan lebih deras. Seharusnya Senja senangn tapi kenapa masih ada kata ragu dalam benaknya?
"Jingga?" Panggilnya pelan "aku-"
Tangan Jingga menggenggam tangan Senja. Memberi wanita ini kekuatan dan rasa yakin. Pria itu mengangguk.
"Aku mencintaimu" ucap keduanya. Terdengar helaan nafas panjang dari Senja baik Jingga.
Pria itu bersorak di dalam hati, mempersiapkan parade yang nantinya akan membuat sulit tidur. Berbeda jauh dengan Senja, tangis wanita itu semakin histeris.
"Hei! Kau kenapa? Senja? Oh! Kau merusak suasana! Berhentilah" tidak hentinya pria itu menghapus bulir yang jatuh.
Pelan, Senja menarik Jingga. Memeluknya. Usapan tangan besar terasa hangat dan melindungi.
"Sstt.. sudahlah, Ingusmu memenuhi bajuku" Ujar Jingga jahil
"Kau ini!!" Senja memukul lengan pria itu.
Jingga tertawa,
"Jingga?" Panggil Senja
"Hm?" Jawabnya santai kemudian membeku karena suatu bisikan.
Vote!!
Savor, JaGa
.KatanaAzzura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dalam Jingga (ON HOLD)
RomanceUPDATE SETIAP HARI!! BIASAKAN FOLLOW duluyaaa~ "Pergi bukan berarti menyerah. Tapi mengerti bahwa ada hal yang tak bisa dipaksakan" -Senja Jika taruhannya kebahagiaan orang yang kamu cinta, apa yang kau lakukan? Tinggal atau meninggalkan?