Twenty One

68 5 0
                                    

Vote yaa~~






Thomas meraihku, memelukku sangat erat. Lalu kemudian berbisik "aku tau semuanya sejak lama, tuan"

Seketika Farizi membeku
'Benarkah Thomas tau? Sejak lama?!'

"Maaf" ucap Farizi.

Thomas melepas pelukan, lalu menatap sang Ayah

"Aku senang Tuan tidak lagi menundanya" Thomas tersenyum "Ah, ya.. Ibu selalu bilang bahwa aku mirip Ayah. Penguntit, pelacak informasi yang gila, dalam artian cepat dan tepat"

Ia tersenyum lagi, "Maaf, aku lancang. Ini semua karena rasa ingin tahuku yang terlalu tinggi. Karena dalam logisnya, data pelamaran kerja yang kuberikan seharusnya boleh kubuka. Tapi orang suruhan Ibu tidak mengizinkanku melihatnya. Aneh, bukan?" Kening Thomas mengerut "aku terpaksa mengambil dataku di berkasmu. Karena bosan mendengar para staff lain yang menggunjingku. Karena kau memerlakukanku berbeda"

Farizi nampak syok, Ia masih belum percaya kata-kata Thomas.

"Maaf Tuan, aku tahu aku lancang. Kau bisa memecatku Tu-

"Jangan panggil aku Tuan lagi. Panggil aku Ayah" Farizi tersenyum, kemudian menarik lagi Thomas ke pelukannya.

Kedua matanya tertutup, menyalurkan kerinduan lewat pelukan. Meminta maaf atas kejadian masa lalu dan segala hal yang dibuat salah.

"Tuan, gerimis" seorang wnaita berparas lugu menghampiri mereka, menggembungkan sebuah payung

"Ah! Thanks Em.." Farizi meraih payung satunya lagi "Apa tidak ada payung lagi?"

Emma menggeleng pelan "Tidak, Tuan"

Thomas berdiri, menepuk bahu Ayahnya
"Sudahlah yah, biar Emma sepayung denganku saja"

Farizi dan Thomas tertawa entah kenapa. Padahal tidak ada hal yang lucu sama sekali. Sedang Emma sudah merubah wajah mirip seperti kepiting rebus.




~*~*~





"Tuhan akan marah jika kita sama-sama pintar. Dan pada akhirnya memisahkan kita" Tari memunggungiku

"Tapi Tar-"

"Iya, Panca. Tuhan marah, dan kita harus berpisah" Tari berjalan menjauh

"Tari, aku rela menjadi bodoh agar kau dapat bersamaku!! TARI!! TARI!!"

"Tari?!! TARI?!!!"

Jingga membuka matanya. Pria itu terbangun dengan tubuh dibanjiri keringat, nafas tersengal, serta mata yang merah.

"Oh, god!" Jingga mengusap wajahnya lelah

"Jingga? Ini sudah pagi?" Mata Senja terbuka sebelah, kemudian menyipit karena cahaya matahari sudah mengintip dari gorden yang sedikit terbuka

"Tidak, ini baru pukul-" Jingga mengangkat tangan kirinya, melihat arloji yang terpaut pada tangannya "PUKUL SEMBILAN!" Ucapnya panik, Ia segera turun lalu merapikan selimut

"Jingga?! Semalam kau tidur bersamaku?!"

"Entahlah Senja, aku lupa. Yang pasti Ayahmu kemari pukul sepuluh. Bersiaplah. Aku akan memanggil Suster Anne" Jingga kemudian menatap Senja yang balik menatapnya horror

Wanita itu melotot, salah satu tangannya menarik selimut sebatas leher

"Ck" Jingga memutar bola mata malas. Ia sangat gregetan dengan wanita satu ini.

Jingga menarik siku kanan Senja, menahan kepalanya dengan tangan kanan Jingga. Matanya menyapu seluruh inci wajah Senja. Sementara gadis itu terdiam bagai kelinci tersudut dalam pengawasan rubah.

"Ayolah Senja? Ini masih pagi! Kau ingin morning kiss, huh?" Jingga menaik turunkan alisnya.

Senja menggeleng kecil. Entah kenapa, Ia begitu ingin menggigit bibir wanita ini.

Jingga meluruskan tubuhnya, mundur teratur dan menyapa suster Anne yang sepertinya melihat adegan barusan. Terlihat dari garis rahang yang mengetat serta ekspresi tegang ketika menatap Jingga

"Suster Anne?"

Suster Anne membalikkan badan dengan wajah pias

"Lupakan hal yang kau lihat barusan. Itu tidak sesuai dengan apa yang kau pikirkan" Jingga tersenyum, tipis namun menghipnotis. Ia menyelipkan tubuh pada celah pintu, lalu menghilang






Segitu dulu yaa, aku sibuk):


Savor, JaGa

KatanaAzzura

Senja Dalam Jingga (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang