Chapter 32

123 12 2
                                    

"Jadi harus bagaimana lagi jika dunia bertindak seakan menentang? Aku tercipta untuk jatuh cinta padamu. Dan aku tak memiliki niatan untuk memisahkan kalian dari ikatan cinta. Namun seperti yang ibu bilang padaku waktu kecil. Cinta tak harus memiliki, seperti ayah yang pergi karena cinta."

Oh sehun

•      •      •

Jalan malam yang sepi lagi dingin. Mencekam keadaan hening yang tercipta. Memberikan aura sendu dan kesedihan yang hanya tersirat dalam setiap dentuman waktu yang sedang bergulir dalam kehidupan ini.

Tak memberikan kesempatan otak yang sedang bekerja untuk mengeluarkan isinya karena keraguan yang menyelimuti. Membungkam mulut oleh hati yang sudah retak. Seolah sedang membangun sebuah benteng pertahanan hati agar tidak segera patah. Diam dalam pergerakan maupun ucapan, yang akan menjadi kunci untuk sebuah rahasia yang dipendamnya. Sendirian.

Mobil Mercedez merah itu masih melaju disela padatnya jalan Seoul, bahkan ketika matahari sudah tergelincir jauh dari sang langit kota tersebut. Melaju dengan kecepatan seadanya, sesuka si pengendaranya agar tiba di tempat yang ditujunya bersama seorang gadis di sebelah kemudinya.

Gadis itu mengeratkan pinjaman jaket yang ia terima dari sang pengemudi mobil itu. Karena cuaca dingin kata si laki-laki, dan ia tak mau gadis yang ia sayangi itu jatuh sakit. Lebih sakit dari kejadian tadi yang sudah cukup keras memukul batinnya.

Hampir tiga puluh menit sudah keheningan terjadi semenjak tawanan untuk mengantar pulang dari Jihoon untuk Jiho. Jiho bungkam begitupun dengan Jihoon yang tengah menyelam dalam perasaan bersalah atas ucapannya tadi di apartemen. Jiho sudah berjanji, tak akan lagi mengucapkan kata apapun untuk Jihoon.

Seperti yang Jihoon bilang tadi. Jiho harus melupakan Jihoon. Karena itu jalan terbaik antara mereka berdua untuk kembali menjalani hidup kedepannya. Agar lebih bahagia katanya. Seperti itu.

Jiho masih tidak bisa membayangkan bagaimana datangnya hari esok dalam hidupnya kali ini. Atau masa depan yang sudah menanti di depan matanya. Yang sudah terlihat akan siratan rasa yang tak akan terasa membahagiakan. Pikirnya.

Masih terlihat kelabu. Bagaimana di suatu hari, saat ia merindukan Jihoon dan hanya akan ada Kai dalam pandangannya. Saat ia sendiri dan tak akan ada yang menemaninya. Saat ia sedih tak akan ada lagi yang menghiburnya. Ia tak akan bisa.

Jiho sudah jatuh cinta pada Jihoon dalam kesempatan hidupnya kali ini. Ia tak akan mau berpindah, ia tak akan mau pergi, dan ia tak akan berhenti mencintai. Karena hati Jiho sudah jatuh pada Jihoon.

Itu saja..

Andai semua orang bisa mendengarkan keluh kesah hatinya. Andaikan keajaiban itu datang besok. Dihari pernikahannya.

Lamunan Jiho mengabur bersama bayangan lampu jalanan yang menyilaukan netranya sudah tak ada lagi. Mobil Jihoon sudah berhenti tepat di depan gerbang putih rumah Jiho. Menampakkan rumah bercat putih pula yang nampak disinari cahaya kuning pijaran lampu malam.

Jiho menegakkan badannya yang semula tersandar. Ia segera menoleh ke arah Jihoon di sampingnya. Namun laki-laki itu sama sekali tak bereaksi. Menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang. Jalanan berlampu temaram di setiap pinggirannya.

"Selamat tinggal.." setelah ucapan itu terlontar, Jihoon hanya mampu memejamkan matanya erat. Menahan desakan ngilu dalam ulu hatinya saat ini.

Nafas Jiho seketika tersengal, ia bernafas pendek dan cepat ketika melihat guratan raut wajah menyerah dari Jihoon. Jantungnya berdebar tak normal. Namun ia hanya kembali diam tanpa berniat membalas ucapan tadi.

The Perfection of Love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang