Chapter 31

124 11 9
                                    

"Jadi apa yang membawamu ke apartemenku, hm?"

Laki-laki berwajah manis itu meletakkan nampan berisi dua cup coklat panas itu di atas meja di sudut ruang kamarnya. Lalu kembali memposisikan duduk di seberang tempat seorang gadis juga duduk di sebuah sofa berwarna coklat tua.

"Hanya sedang merindukanmu saja, Oppa." Gadis itu—Jiho—tersenyum semanis mungkin menatap orang di depannya. Lalu si pelontar pertanyaan tadi, Jihoon hanya tersenyum sendu sembari melihat gadisnya tengah menyeruput minuman coklat itu dari cangkir.

"Jiho, kita masih bersahabat baik'kan?" Tanya Jihoon lagi penuh kesenduan.

Jiho kembali meletakkan cangkirnya di atas meja lalu benar-benar fokus menatap Jihoon dengan senyuman hangat.

"Kau bisa menempatkanku di posisi manapun. Asal masih menjadi hal penting untuk hari-harimu. Karena aku tidak mau pergi darimu.." senyum lembut yang selalu bisa meluluhkan Jihoon. Senjata ampuh Jiho untuk mempertahankan senyuman Jihoon pula selama ini.

"Walau cinta kita tidak bisa bersatu, setidaknya kisah kita tetap disebut kisah cinta, bukan begitu?" Lanjut Jiho dengan seulas senyum yang berubah sendu.

"Sepertinya kita harus berhenti membicarakan tentang kita. Kau tahu, itu membuatku malah semakin menginginkanmu. Dan membuatku sulit untuk melupakanmu juga." Jihoon mengalihkan tatap matanya pada meja nakas disamping ranjangnya. Yang terpampang foto kebersamaan mereka berdua dalam sebuah pigura foto.

"Kenapa? Aku suka membicarakan tentang kita. Aku juga tak punya niatan untuk melupakanmu, Oppa."

Jihoon memejamkan matanya. Ingin menutup pandangan Jiho yang serasa menusuk batinnya. Menutup pandangan dari manik Jiho yang menyiratkan sebuah kebahagiaan yang dipaksakan. Jiho yang menahan luka batin sendirian.

"Jiho.." Jihoon memanggil nama terkasih itu dengan lirih.
"Ku harap kau tak kesepian tanpaku. Berbahagialah tanpaku.. aku tak ingin kau ada dalam alur hidupku lagi."

Begitu lirih. Jihoon mengucapkannya dengan pelan dan langsung menembus gendang telinga Jiho. Membuat Jiho menatap tak percaya pada laki-laki yang masih menutup matanya rapat.

"Apa-apaan itu. Bukankah sudah kubilang, aku tidak mau pergi darimu." Jiho menatap Jihoon tak terima. Nada suaranya ikut meninggi bersama gejolak marah dalam lubuknya pada Jihoon.

Berbeda dengan Jihoon, laki-laki itu tetap diam. Acuh dan dingin pada Jiho, lebih tepatnya pada reaksi Jiho barusan. Laki-laki itu membuka bertanya perlahan. Mengangkat pandangannya yang langsung tertuju pada Jiho.

"Kita tidak bisa terus seperti ini. Kita mempunyai alur hidup masing-masing. Kau dengan keluargamu dan aku bersama duniaku sendiri. Meraih impianku tanpa dirimu lagi." Jihoon berucap mantap. Membalas tatapan tak terima Yeri dengan pembelaan yakin yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari. Dengan akting yang begitu apik di depan gadis tercintanya.

"Jadi selama ini kau anggap aku apa? Kau bilang akan berjuang untukku, lalu kenapa kau menyerah lebih dulu? Kau lelah denganku.." Jiho menunjuk lawan bicaranya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Aku hanya tahu, kapan kita harus berhenti berjuang saat usaha yang kita lakukan akan berakhir sia-sia saja. Ini demi kebaikan kita berdua, terutama dirimu." Jihoon berdiri, mendekat ke arah jendela. Memandang langit gelap Seoul dari ketinggian apartemennya.

Dari tempat duduknya, Jiho masih mengamati setiap gerak kecil Jihoon. Ia mengikuti bangkitnya sang laki-laki tercinta untuk menyahut ucapannya tadi.

"Kau yakin aku akan baik-baik saja saat kau pergi? Kau mempercayakanku pada orang lain yang tidak mencintaiku sedalam cintamu padaku?" Air mata Jiho jatuh, ia menatap punggung lebar Jihoon dari belakang dengan mata memerah sendu. Dari balik tubuhnya Jihoon juga mendengar, suara gemetar tangis dari gadis tercintanya.

The Perfection of Love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang