1. Heart Voice

45.9K 2.1K 33
                                    

"Thank you!!" teriak gadis di depan microphone dengan peluh yang membanjiri wajah.

Riuh tepuk tangan dan siulan menggema memuji penampilannya di atas panggung Pantai Festifal Ancol, minggu pagi ini. Hanindya Carnesya, tersenyum senang kemudian melambaikan tangan kepada seluruh penikmat penampilannya sebelum turun dari panggung.

"Wohooo!! Nek, lu kalo manggung emang kece bin badai deh! Lihat aja itu ombak-ombak Ancol sampe ikutan joged, tahu!" Jamal–asisten pribadi pemilik management yang menaunginya-- kerap memujinya dengan tujuan agar Nesya–panggilan akrabnya—mau diorbitkan.

Nesya memberi seulas senyum untuk Jamal. "Soalnya gue tuh nyanyi pake hati, Jaluuu. Diresapi, dinikmati terus ditambah goyangan dikit sama lirikan genit, dijamin deh laki-laki langsung lembek kayak jeli," balas Nesya yang kini sedang duduk di salah satu kursi dalam tenda putih di belakang panggung.

"Kamu tuh ada bakat go public, tapi kenapa betah banget jadi penyanyi opening? Saya bisa buatkan album dan membuatmu tenar, Sya," ujar Satria–pemilik management--yang terus-menerus menawari Nesya untuk mengambil kesempatan emas yang ia tawarkan.

Nesya sebenarnya ingin mengambil tawaran Satria, tetapi orang tuanya pasti akan menentang. "Bang Sat, bokap tuh cinta mati sama gue. Nggak bakalan mau dia bagi-bagi suara merdu gue ke orang-orang se-antero Nusantara." Gadis belia itu terlihat menghela napas dalam. "Lagian, gue masih sekolah Bang. Kalo lu ngotot ngorbitin gue, lu bakal dijadiin topping cookies sama nyokap gue? Nyanyi di sini aja gue tadi berangkatnya diem-diem."

"Terus kenapa masih betah jadi wedding singer?"

"Ya karena sama bokap, gue bolehnya cuma kerja di Rahardian Wedding and Event Organizer. Yang punya 'kan saudara nyokap, Bang." Nesya merasa sedih juga kecewa karena bakat dan kecintaanya di dunia tarik suara, sedikitpun tak mendapat sambutan juga support dari keluarga, terutama orang tuanya.

"Sya, itu ada om-om tuwir nyariin lu! Jangan-jangan mau booking lu lagi," ucap Jamal yang tiba-tiba datang setelah sesaat lalu pamit untuk membelikan Satria sesuatu.

Nesya berdecak tak suka mendengar ucapan Jamal. "Mulut lu, Jalu, minta ditabok, ya. Ngawur aja kalo ngomong."

"Yey jangan banyak cincong deh, Nek. Cepetan! Itu om-om mukanya jutek banget. Serambi tahu!" lanjutnya seraya mengipas-kipaskan tangan di wajahnya yang berkeringat sehabis berlari kecil.

Mendengar keterangan Jamal tentang seorang laki-laki berumur, mendadak Nesya diterpa rasa takut. Ia yakin itu pasti Raditya Wardhana—papanya. Bisa Nesya pastikan jika Raditya tengah murka dan bersiap memarahinya, karena bernyanyi tanpa izin dikala Nesya bersiap menghadapi Ujian Akhir Nasional. Selain itu, papanya menginginkan dia untuk menjadi ahli di bidang ekonomi, bukan seni.

"Itu bokap gue," ucapnya. "Gue balik dulu, ya, nggak jadi ikutan lunch kalian. Kudu balik kandang sekarang. Besok gue mau ujian." Nesya mengembuskan napas menenangkan debaran jantungnya untuk menghadapi Raditya. Nesya pun keluar dari area backstage.

"Masuk!" Sentakan dingin menyambutnya. Selalu seperti ini, setiap kali ia bernyanyi selain di acara pernikahan, ia akan pulang dibarengi omelan papanya. Tanpa membantah, Nesya masuk ke mobil dan hanya diam selama perjalanan.

*****

Raditya melirik putrinya yang tengah memandang ke luar jendela. "Kali ini Papa menyesal dimutasi ke Jakarta. Meski karier Papa menanjak pesat hingga menjadi direktur operasional namun, Papa kadang merasa berat dengan kondisi ini. Bukan karena tanggung jawab di kantor pusat, tetapi karena tanggung jawab menjaga kamu dari pergaulan di kota ini."

Nesya sudah mendengar curahan hati papanya mengenai hal ini dan untuk kesekian kalinya.

"Susah, ya, untuk tetap di rumah dan belajar? Kalau ingin bernyanyi, bisa kan di ruang karaoke atau di studio yang sudah Papa buat untuk kamu. Bukan di hadapan ribuan laki-laki yang bertelanjang dada di depan panggung! Astaga Nesya, kamu ...." Raditya tidak melanjutkan kata-katanya.

"Tadi itu acara Running Fest, Pa. Wajar mereka berpakaian seperti itu dan berkeringat."

"Kamu terlalu berharga untuk dinikmati jutaan mata!" sela Raditya cepat.

Nesya menatap Raditya. "Kakak cuma nyanyi nggak lebih. Itu juga tiga lagu, Pa. Setelah itu turun terus duduk sambil menikmati hidangan yang disuguhkan sama EO-nya," terang Nesya mencoba memberi penjelesan. "Soal ujian, siang ini rencana langsung pulang habis lunch sama teman-teman management," lanjut Nesya lirih. "Papa jangan marah, doain supaya hasil ujian nanti bagus."

Raditya menghela napas mendengar bantahan yang dilontarkan oleh Nesya. "Ini bukan cuma masalah ujian, Kak. It's about your safety. Papa cemas dengan pergaulan dunia entertainment."

"Pa, dunia entertaimen nggak seperti yang Papa pikirkan. Nggak semuanya buruk dan kakak janji nggak akan terpengaruh hal-hal yang negatif. Kakak janji nggak bakal bikin Papa sedih."

Masih saja Nesya membantahnya. "Please, Sya, Papa harap ini terakhir kalinya kamu manggung di luar WO milik Pakde. Kalau kamu mau mengeksplor bakatmu di depan orang, cukup bernyanyi di setiap wedding yang di-handle Pakde. No more!" Tanpa mengalihkan tatapan dari lalu lintas Jakarta yang lengang, Raditya memberi ultimatum Nesya agar mengakhiri titian karir bernyanyinya.

"Kakak harus gimana agar Papa izinin menggapai cita-cita kakak menjadi diva?" ratap Nesya dengan hati perih.

"No diva or singer, Honey! Jadilah wanita karir atau pengusaha seperti Mama."

Helaan napas kecewa kembali terdengar dari bibir Nesya. Seberapa pun piawainya ia merayu orang tuanya untuk memperoleh restu menjadi penyanyi, semuanya sia-sia bahkan mustahil. Mau tidak mau ia harus menelan pil pahit hingga menghilang dalam tubuhnya.

********

Kening Nesya berkerut saat kendaraan papanya memasuki carport rumah mereka. Netra gadis itu melihat dua mobil terparkir di depan pagar rumah. "Siapa, Pa?"

Raditya mematikan mesin mobil kemudian melepas seatbelt di tubuhnya. "Temen Papa, Yusuf sama Rendi. Papa undang makan siang," jawab Raditya.

"Kok Cuma dua? Yang satunya mana, Pa? Yang kata Papa punya sapi banyak?"

"Owh, Andra. Dia nggak bisa datang, ada jadwal inseminasi," jawab Raditya. "Ayo turun."

Nesya mengangguk lalu turun dari mobil. Ia terseyum kecil kala menyadari sesuatu. "Pak Yusuf masih kerja di kejaksaan, Pa?" tanya Nesya seraya mengintip ke ruang tamu rumah mereka.

Raditya mengangguk kemudian meninggalkan Nesya untuk menyambut Yusuf dan Rendi. Radytia mengenal mereka empat belas tahun lalu di perkemahan. Kala itu Raditya dan keluarga berkemah, entah bagaimana Nesya terpeleset dan terjatuh ke sungai, beruntung ada Yusuf dan dua kawannya menolong Nesya.

"Wah, Nesya! Sudah besar sekarang. Perasaan baru kemarin saya tolongin kamu waktu kecebur sungai di Sekipan," sapa Rendi kala Nesya baru saja memasuki rumahnya.

"Kepeleset, Pak Dokter, bukan kecebur!" jawab Nesya seraya mendekati papanya. "Selamat siang Pak Jaksa," sapanya ramah. "Nesya ke atas dulu, ya." Tidak menunggu jawaban, gadis berkulit langsat itu pergi ke dalam.

Namun, untuk sejenak ia berhenti memperhatikan satu dari tiga pria yang sedang berbincang hangat. Yusuf Arbianda—jaksa tampan versi Hanindia Carnesya—kawan karib Raditya yang sudah lama ia kagumi dan pria pertama sebagai objek pengenalan konsep cinta dalam hidupnya. Nesya tahu umur mereka terpaut jauh, tetapi ia tak peduli. Terpenting baginya, pria itu masih sendiri.

Pak Ucup-nya Nesya, kok tambah ganteng sih?

Carnesya's Love Song [ Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang