13. Bromo

17.1K 1.4K 17
                                    

Bagai diatas awan.

Itulah yang Nesya rasakan. Berdiri di ujung Penanjakan berpegang pagar besi yang melingkari kawasan itu. Sejauh mata memandang, hamparan pegununganberdiri kokoh menunjukkan keangukahannya. Keindahan yang tak pernah membuat siapapun bosan. Matahari terbit adalah hal indah yang selalu menjadi daya tarik dari destinasi alam Bromo ini. Memberikan moment untuk dikenang oleh pengunjung. Dan, tampak kumpulan awan melingkari gunung dengan matahari menyembul di atas puncak gunung.

"Wonderfull!"

Bagi Nesya, pagi ini adalah pagi paling istimewa di antara pagi yang ia lalui selama ini. Berdiri memandang matahari terbit dengan Yusuf memeluk dari belakang. Menopang dagu di bahu dan mengembuskan napas hangat ditelinga Nesya, serta ... sesekali mencuri kecupan di pipi.

Maklum udah pagi, Bapak, belum sarapan. Kalau sampe siang nggak turun dari sini, Bapak bisa makan pipi gue kali yak.

"Bapak, tahu nggak apa yang Nesya rasa sekarang?" tanyanya tanpa menoleh pada Yusuf yang setia memeluknya.

"Dingin?"

"Bukan. Kalau dingin mah udah dari tadi, Bapak," balasnya dengan kekehan lirih. "Nesya berasa benar-benar berada 'diatas awan' seakan terbang kesana. Merasakan ketenangan dan kebahagiaan." Kini Nesya melepas pelukan lelaki berusia tiga puluh tahunitu dan berbalik menghadapnya. "Nesya bahagia ... berhasil menjadi wanita dimata Bapak. Meski belum seutuhnya Nesya miliki Bapak, tapi Nesya sudah bahagia."

Yusuf tersenyum

"Nesya janji. Setelah ini, Nesya akan berusaha menuruti yang menurut Bapak baik untuk Nesya, seperti istri yang selalu berusaha patuh pada suaminya."

"Termasuk jangan jadi diva?" goda Yusuf dengan menaikkan satu alisnya.

Nesya memberengut. "Kalau itu jangan, Bapak! Itu mah sama aja Bapak membunuh Nesya dengan cinta Bapak."

Yusuf memandang erat paras Nesya. "Cantik," gumam Yusuf.

"Iya, Pak. Bukan cantik aja, keren dan indah juga," lanjut Nesya.

Pria dewasa tersebut menggeleng. "Bukan. Kamu maksud saya."

"Heh?"

"Kamu ... cantik." Tangan Yusuf menyentuh dahu Nesya dan mengangkat wajahnya. Menyusupkan satu tangan dibelakang tengkuk Nesya dan menyatukan bibir mereka.

Ya Tuhanku! Kurang nikmat apa ini jatuh cinta? kalau emang bisa begini terus, Nesya rela deh jadi pedagang kopi sama mie di Bromo asal bisa di kecup-kecup mandjah sama si Bapak.

Plakkk! Oke, balik lagi.

Setelah puas menikmati matahari terbit dengan segala tetek bengek keromantisan ala pasutri jatuh cinta, mereka melanjutkan wisata menikmati sarapan di depot-depot yang tersedia. Dirasa energi terkumpul, merek kembali bereksplorasi menyusuri gurun pasir lalu berjalan-jalan sekitar pegunungan dan menaiki kuda, kala Nesya merasa kakinya letih.Bak pangeran dari antah barantah, Yusuf berjalan kaki sambil menggiring kuda putih yang Nesya duduki dengansyantiks, menelusuri keindahan kawasan Bromo.

Tangan Yusuf terulur meraih satu tumbuhan yang tumbuh subur disana."Kamu tahu, bunga edelweis adalah bunga abadi," terang Yusuf ketika berada di salah satu bukit kawasan gunung sejuta pesona.

"O, ya? Kok beda sama yang di jual ibu-ibu penjual souvenir edelweis dibawah tadi? Nesya kira itu tanaman liar atau tanaman obat."

"Beda, karena yang di jual itu sudah di percantik dengan warna," jelas jaksa itu singkat.

Carnesya's Love Song [ Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang