• promise 8 •

26 6 1
                                    

Anin tengah menatap ke luar jendela. Dimana tempat sang hujan turun membasahi tanah. Puing-puing kenangan kembali terbuka. Satu-persatu ingatannya kembali, kembali ke masa lalu.

"Anin ga salah Ma"

"Shh sak-kit Ma, tangan Anin ssh sakit"

"Dasar anak kurang ajar!!"

"Anak gak tau diuntung lo! Gue benci sama lo"

Anin menggelengkan kepalanya pelan. Sentuhan dibahunya mengalihkan perhatiannya sejenak.

"Ngelamun hmm??"

"Sejak kapan lo disitu Ray?" Ya, Raydhan. Laki-laki itu yang menggoyangkan bahunya tadi.

"Mungkin sejak lo liat keluar sana" Ucapnya sambil menyeruput minuman digenggamannya. Anin memang sedang berada di kafe, tempat andalannya disaat ia bosan di rumah. Bosan dengan suasana yang selalu menegangkan. Dan tidak disengaja, mereka berdua bertemu disana. Sebuah kebetulan atau memang disengaja?

"Kan kan, lo ngelamun lagi. Ngelamunin apaan sih?" Anin hanya tersenyum manis, "Siapa yang ngelamun coba" Elaknya.

"Ya lo lah, tadi gue tanya dan lo ga jawab. Terus apa namanya kalo nggak ngelamun hah??" Anin terkekeh melihat kesewotan laki-laki di depannya ini. Dengan refleks ia mencubit kedua pipi Raydhan dengan gemas.

"Hahaha liat pipi lo lebar Ray" Raydhan yang salting hanya mampu terkekeh tidak jelas. Jantungnya sudah berdegup saat melihat Anin tertawa, dan kembali berdegup saat tangan mungil itu menyentuh kedua pipinya.

"Btw lo sendirian kesini? Ga sama Kakak lo?" Raydhan memgalihkan kesaltingannya dengan bertanya pada Anin. Seketika raut wajah Anin menyuram. Dapat dilihat oleh Raydhan ketika mata Anin meredup.

"Ah-itu apa namanya, dia kerja kelompok iya gitulah" Sampai kapan Anin menutupi sifat kakaknya itu. Ia pun tidak tau.

"Ada masalah hmm??" Tanya Raydhan. "Kalo ada masalah cerita aja sama gue, dengan senang hati gue dengerin keluh kesah lo" Lanjutnya.

"Karena gue sayang sama lo Nin" Tambahnya dalam hati, ia masih belum berani mengungkapkan secara langsung.

Tidak ada balasan apapun dari bibir gadis itu. Ia hanya menerawang jauh, memancarkan kesedihan. Dan satu tetes cairan bening itu keluar dari mata cantik Anin. Dengan lembut, Raydhan mengusap pelan air mata yang jatuh dikedua pipi Anin. Raydhan bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Anin. Ia memilih untuk duduk disebelah gadis itu.

"Heyy, kenapa nangis? Lo disini sama gue, ada gue dideket lo, denger itu" Ucapnya sambil mengelus bahu Anin.

Tanpa paksaan, akhirnya gadis itu bercerita juga tentang apa yang membuatnya menangis.

Anin sedang memutar musik di kamarnya. Volumenya ia putar sangat kecil karena takut mengganggu orang-orang yang berada di rumahnya. Tiba-tiba pintu kamar Anin terbuka keras. Mamanya dan Navan masuk ke dalam kamar dengan membawa sesetel pakaian.

"Anin, apa yang kamu lakuin sama baju Mama!! Bisa tidak menyetrika dengan benar, lihat baju Mama sampai bolong seperti ini!!"

"Kamu sengaja kan nyetrikain baju Mama sampai bolong seperti ini" Lanjutnya.

Anin menatap Mamanya dengan pandangan bertanya, kapan ia menyetrikan baju Mamanya yang itu? Ia tidak pernah menyetrika baju Mamanya karena memang itu bukan tugasnya. Maksudnya, ia hanya menyetrika pakaiannya sendiri, ya hanya miliknya sendiri. Sisanya dilakukan oleh ART rumahnya.

"Halahh ngeles aja lo. Gue liat sendiri lo yang nyetrikain baju Mama" Ucap Navan sambil memperlihatkan rekaman video. Disana terlihat Anin yang sedang memegang baju Mamanya. Catat, hanya memegang!

"Ma buk-..." Ucapan Anin sudah dipotong oleh Mamanya, "Kamu tau harga baju Mama? Mahal Anin mahal. Bahkan uang jajan kamu masih dibawah harga baju Mama. Kamu ini bisanya hanya merepotkan saja!!. Tidak pernah becus melakukan sesuatu" Setelah menyelesaikan ucapannya, Mamanya pergi begitu saja tanpa melihat keadaan Anin.

"Hahaha, kenapa ya gue seneng banget ngeliat lo sengsara. Bawaannya pengen liat lo nangis mulu deh Nin" Ucap Navan, lalu laki-laki berlalu dari kamarnya.

Anin mengelap sisa air matanya. Tapi cairan itu selalu keluar tanpa dipersihlakan. Bahkan semakin deras, sama seperti hujan diluar sana.

"Lo tau Ray? Gue hanya megang baju Mama, ga lebih"

Anin merasakan kehangatan yang menjalar ditubuhnya, dengan tangan besar milik Raydhan dapat membuat tubuh Anin hangat.

"Ssstt, udah jangan nangis. Masa mau nyaingin hujan diluar sana. Eh Nin, lo tau nggak kenapa lo ngerasa selalu diuji seperti itu?" Anin menautkan dahinya, lalu menggelengkan kepalanya. "Karena Tuhan tau kalo lo mampu, lo kuat, dan lo bakal bertahan. Lo perempuan yang tegar, lo harus buktiin itu ke Mama Papa dan Kakak lo, ke Aura dan Keenan. Dan juga gue yang selalu menjadi sandaran lo ketika lo butuh, kalo lagi gak butuh juga gapapa kok kalo mau nyender disini gue ikhlas" Ucapnya sambil membusungkan dada dan menepuk bahunya seolah siap untuk disandari.

Anin terkekeh kecil melihat tingkah Raydhan. Ia bersyukur akhirnya ada orang yang mendukungnya selain dua sahabatnya itu, Anin dan Keenan.

TBC!!

Haii guysss, jangan lupa vomment okeee...!

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang