• promise 19 •

35 2 1
                                    

Setelah acara tangis menangis tadi, Anin berupaya membetulkan posisi duduknya. Namun terlihat sangat sulit  Anin kerjakan. Saat membetulkan tempat duduknya, Anin kehilangan keseimbangan.

Hap...

Dengan sigap, Raydhan menyangga tubuh Anin. Kalau tidak, mungkin Anin sudah terjatuh dari ranjangnya. Raydhan bingung, apa yang sulit dari merubah posisi. "Anin, kamu butuh sesuatu?" Tanya seorang suster yang sangat kebetulan sedang berada di ruangan Anin.

"Jangan melakukan sesuatu terlebih dahulu, kondisi kaki kamu..." Raydhan menoleh ke arah suster itu, "Kaki Anin kenapa Sus?" Tanyanya penasaran.

Anin menggeleng memberi kode pada suster itu, "Ah- itu kondisi Anin masih sangat lemah. Jadi belum diperkenankan untuk melakukan kegiatan" Anin menghembuskan nafas leganya. Ia tidak ingin Raydhan mengetahui kondisinya yang sekarang. Ia tidak ingin dikasihani.

Tak lama, suster itu pergi dari ruangan Anin. Menyisakan mereka berdua dalam keadaan sunyi. "Ray, udah mau maghrib. Pulang gih"

Raydhan tau, ada yang tidak beres dari gadis ini. "Gue jagain lo aja ya malem ini, kan keluarga lo nggak ada yang dateng" Anin bingung, harus dengan cara apalagi untuk menyuruh Raydhan pulang.

"Gue tau pasti ada sesuatu yang lo sembunyiin dari gue. Ada apa hm?" Tanya Raydhan lembut tapi mengintimidasi. Anin menggeleng pelan, "Ng-nggak ada kok, u-udah lo pulang aja"

"Ada apa Anin? Jujur sama gue, inget disini ada gue buat tempat cerita lo" Ucapnya sekali lagi. Anin menghembuskan nafas beratnya, dengan setengah hati ia menjelaskan semuanya kepada Raydhan.

Flashback

Terlihat sepi di ruangan rawat Anin. Bahkan dari pihak keluarganya pun tidak ada yang datang. Perlahan, Anin membuka kedua matanya. Cahaya terang masuk ke penglihatannya, membuat Anin memejamkan kembali matanya. Guna menetralkan cahaya yang masuk ke retinanya.

Pintu ruangan terbuka dari luar, gadis itu berharap seseorang itu adalah anggota keluarganya, terlebih lagi ia berharap pada Mamanya. Namun harapannya kandas saat melihat seseorang itu adalah dokter. Dokter Zanuar tersenyum saat melihat Anin sudah sadar dari komanya. "Alhamdulillah akhirnya kamu bangun juga. Sebentar, saya akan mengecek keadaan kamu dulu" Selagi menunggu dokter memeriksanya, Anin masih mengumpulkan sisa-sisa nyawanya.

"Bangun? Memang saya koma berapa lama Dok?" Tanya Anin. "Hmm mungkin sekitar 4 harian. Bersyukur keadaan kamu baik-baik saja"

"Apa saya sendirian disini? Hm maksud saya selama disini, apa tidak ada yang menunggu saya?"

"Ada, laki-laki yang seumuran denganmu. Dan juga Bu Santi yang sekali-sekali datang" Jelas Dokter Zanuar. Anin hanya menganggukan kepalanya, jam masih menunjukan pukul 5 subuh.

Anin mencoba untuk mendudukan dirinya namun bagian kakinya sangat berat untuk digerakan. "Dok, kenapa kaki saya susah digerakan?" Ucap Anin panik. Berbagai pikiran negatif hinggap diotaknya. Dokter Zanuar pun kembali memeriksa keadaan Anin. Anin berdoa agar tidak terjadi sesuatu pada dirinya.

"Gimana Dok? Saya baik-baik aja kan?" Ucapnya bergetar. Air mata Anin sudah menggenang dipelupuk matanya.

Dokter itu mencubit disekitar kaki Anin, "Apa ada rasa?" Anin menggelengkan kepalanya pelan. Memang tidak terasa apapun di kakinya. "Hufft, seperti dugaan saya sebelumnya. Kecelakaan itu akan memberikan efek padamu, kakimu lumpuh. Tapi tenang saja, lumpuh ini sementara. Jadi jangan putus asa, kamu bisa mengikuti terapi" Dan air mata yang sejak tadi menggenang akhirnya menetes juga. Lumpuh? Anin tidak pernah memikirkan kalau dirinya akan mengalami itu. Dengan kedua kakinya itulah ia mampu berjalan, ia bisa melakukan kegiatan. Dan sekaran kakinya sudah tidak berfungsi lagi.

"Lumpuh Dok?" Pasti Anin sekali lagi, dan sangat disayangkan dokter itu menganggukan kepalanya. Anin menggelengkan kepalanya lemah.

Anin menyudahi penjelasannya pada Raydhan. Ia sudah menebak bagaimana ekspresi laki-laki itu, tidak perlu Raydhan, dirinya sendiripun tak percaya. Namun inilah takdirnya. "Karena lo udah tau kejelasannya, gue mohon. Jangan pernah kasihani gue. Anggep aja gue masih sama kayak dulu" Ucap Anin sambil menyeka air matanya.

Raydhan menetralkan ekspresinya dan tersenyum, "Udah jangan sedih. Inget, ada gue disini. Lo dapat tersenyum kepada banyak laki-laki. Namun hanya kepada satu laki-laki lo dapat berbagi air matanya, dan gue harap itu gue Nin"

———

Pagi minggu ini, Navan sudah siap dengan pakaian casualnya. Ia sudah bersiap-siap sejak tadi, bahkan membuat Santi penasaran akan pergi kemanakah anaknya ini.

"Mau kemana Van? Udah rapi aja pagi-pagi" Tanyanya hangat, berbading jauh dengan Anin.

"Mau keluar, pergi dulu Ma" Ucapnya sambil berlalu dari rumah besar itu. Ia menstater mobilnya dan melaju membelas jalan perkotaan yang ramai.

Mobil sedan hitam milik Navan sudah terparkir dihalaman rumah sakit. Ya, laki-laki itu berencana untuk mengunjungi Anin. Sudah hampir 3 hari ia tidak kesini lagi. Karena beberapa hari kebelakang, ia sedang melakukan sesuatu.

Navan sudah berdiri di depan pintu ruangan Anin. Tangannya membuka knop pintu dengan pelan, takut mengusik orang yang ada di dalam. Dan pandangannya terpaku pada dua orang yang masih terlelap dengan tangan yang menggenggam satu sama lain. Dia, Anin dan Raydhan.

TBC!!

Heiyooo, Raydhan Anin balik lagii. Jangan lupa vote dan comment yahh....☺️

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang