Agus Abbad Nailun Nabhan

5.4K 239 2
                                    

Author Pov

Suara detik detik putaran jam terdengar menghiasi sunyinya kamar tamu milik keluarga ndalem PP. Misbakhus Sudur yang di tempati dua gadis yang merupakan santri putrinya.

Sampai saat ini Laila, satu diantara santri itu belum juga siuman dari pinsannya. Fitri sedari tadi masih sibuk menyadarkannya dengan minyak angin di tangan. Mengusap-usapkan pada tengkuk dan membau-baukan pada hidung Laila.

Sampai akhirnya Laila pelan-pelan mulai membuka matanya.

***

Laila Pov

"Eekkkhhmm.." Bau menyengat sepertinya berasal dari minyak kayu putih mengganggu hidungku membuatku melenguh ringan. Aku mengerjapkan mata menyiapkan retinaku menerima cahaya yang masuk.

Pening sekali rasanya.

"Mbak Laila, udah siuman" Suara di sebelahku membuatku menoleh.

Hmm gadis tadi sore. Fitri. Dia masih selalu setia menungguku.

"Gue dimana?"

"Mbak Laila tadi pinsan. Terus ya di tolong sama.." Belum sempat Fitri melanjutkan kata-katanya seorang laki-laki masuk membawa nampan yang sepertinya berisi sesuatu yang hangat. Terlihat dari kepulan asap menari-nari di atasnya.

Dia laki-laki dingin yang pernah membuatku malu waktu itu.

"Udah siuman, La?" Tanyanya padaku.

"Em eh." Anggukku kemudian. Aku masih terlalu malu. What? Aku, Ella? Bisakah aku malu. Oh! Alhamdulillah ya Allah, ternyata urat maluku belum putus. Pikirku konyol sedetik kemudian.

"Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Kalian pasti belum makan, ini makan dulu." Laki-laki itu menyodorkan nampan yang ia bawa sedari tadi padaku.

Mau tak mau akupun speechless dibuatnya. Oh ayolah, maafkan aku, aku telah salah menilaimu. Ternyata kau tak seperti yang ku bayangkan. Engkau begitu lembut ternyata. Bahkan dia peduli padaku, eh lebih tepatnya pada kami berdua. Siapa dia?

"Ini, Fit." Ia beralih mengangsurkan pada Fitri setelah sadar aku tidak segera menerima ulurannya tadi.

"Enggih, Gus." Ku lihat Fitri malu-malu saat menerimanya. Entah kenapa Fitri selalu saja menunduk menyembunyikan wajahnya yang sebenarnya manis itu.

Laki-laki itu menatapku. Ia tersenyum. Aku menoleh kesebelahku. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada Fitri dan iapun masih berlutut dan menunduk tentunya, Ya Allah, apakah dia tersenyum padaku. Masyaallah.

'Andaikan itu terjadi saat dimana kita bertemu kemarin' Gumamku mungkin pipiku memerah saat ini.

"Udah. Makananya udah aku anter. Sekarang kalian makan. O iya, kalian juga belum sholat isya' kan? Itu di lemari ada mukena."

Aku masih diam.

Ia tersenyum lagi.

"Aku keluar dulu. Silakan beristirahat. Ndak usah kembali ke Pondok, lanjut tidur di sini saja. Besok pagi kalian baru boleh kembali" Lanjutnya kemudian sembari menutup lembaran kayu putih besar penyekat kamar ini dan ruang diluar.

***

Aku masih merasakan hangatnya makanan di cekungan mangkuk gelas yang ku pegang. Sambil sesekali melihat gadis di bawah ranjangku ini. Dia terlihat lahap menikmati makanan itu. Aku tersenyum melihatnya. Fitri, kenapa kamu masih saja mau mengikutiku? Gumamku.

"Loh, mbak Laila kenapa nggak dimakan sotonya? Entar keburu dingin looh." Fitri bertanya padaku saat dia sadar tengah ku perhatikan.

Lagi-lagi dia masih perhatian padaku setelah entah berapa kali aku sinis padanya. Aku selalu melihatnya tulus melakukan semua ini padaku. Aku putuskan bahwa aku telah menemukan malaikat baik berwajah cantik di sini. Di mana? Di Pondok, entah apa namanya aku lupa ^_^

Cinder-ella di PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang