Semangat

4K 192 2
                                    

Abbad Pov

Masyaallah. Maha Suci Allah yang telah menciptakan bumi berikut isinya. Pikirku setelah melihat suasana langit sore yang beranjak malam dari tempat favoritku atau lebih tepatnya balkon sore ini.

Sesore aku berada di sini. Bertemankan segelas air dingin dan setumpuk buku yang kulahap habis isinya bersangkutan dengan bisnisku di luar kota.

Bisnis yang ku harap dapat mengantarkanku pada ridho Allah. Namun entah mengapa setiap ku mengingat tentang bisnis selalu muncul pikiran tentang masa depan yang indah bersama anak-anak dan istriku kelak. Mungkin aku terlalu panjang angan-angan saat memikirkan bisnis yang sedang ku rintis ini. Astaghfirullahal'adziim ampuni hamba Ya Allah.

'Allahuakbar Allahuakbar...' Suara Adzan dari arah masjid pusat di Pon-Pes Putra mulai terdengar.

"Masyaallah begitu lamanya aku berada disini" Gumamku pelan. Kemudian ku angkat tubuhku dan melangkah meninggalkan kursi berpelitur putih yang nampak selalu kokoh walau tiap hari ku duduki.

Ku turuni tangga perlahan setelah mengambil air wudhu di kamar mandi dalam kamarku. Ku fikir terlalu berlebihan untuk keluarga seorang panutan bagi santri-santrinya seperti Abah, yang seharusnya tampil sederhana. Waktu ku tanya kenapa Abah membangun kamar mandi di kamarku, bukankah itu terlalu berlebihan? Abah hanya menjawabannya dengan "Umi yang minta". Siapa yang bisa menghindar dari rayuan maut istrinya.

Ingatkah kalian dengan cerita sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab ra. Yang hanya diam tatkala istrinya marah? Hmm tentu masih ingat bukan?. Begitu pula saat Abah yang tak bisa mengelak permintaan Umi yang pastinya tak akan mengalah begitu saja jika itu dirasa benar baginya.

"Abbad, kamu gantiin Abah ngimamin santri putra dulu ya? Sekalian ngisi rutinan malam kamis, soalnya Abah ada jadwal ngisi pengajian di kecamatan" Saat langkahku sampai di anak tangga terakhir. Tiba-tiba saja ada Abah muncul dan memberi intruksi panjang padaku yang tentu saja tak bisa kutolak dan hanya bisa ku iyakan.

"Enggih, Bah." Jawabku patuh.

"Ya udah buruan sana. Kasian santri-santri pada nunggu. Abah jamaah sama Umi aja dirumah."

"Cieee... Yang mau nostalgia kados manten baru." Sempat-sempatnya ku goda laki-laki palawan sekaligus panutan di depanku ini.

"Apapaan sih?" Mata Abah sudah tajam menatapku di sertai wajahnya yang mulai memerah.

"Hehe maaf, Bah," ucapku sembari meraih tangannya, "assalamualaikuum..." ku tutup dengan salam gurauanku kali ini.

***

"'Innallahama'ashobiriin' Siapa yang masih ingat dengan dalil andalan itu? Wah tentu kalian masih ingat 'kan?" Ucapku menggebu-gebu penuh semangat mengisi pengajian rutinan yang seharusnya diisi oleh abah.

"Sabar!," ucapku tegas, kupandangi seluruh penjuru area masjid induk ini. Semua hening. Entah memperhatikan ataukah hening mengantuk, masyaallah. Bagaimana nasib bangsa ini kedepannya jika generasi penerusnya seperti ini. Memang harus 'sabar' juga dalam menghadapi mereka. Sebelum akhirnya ku lanjutkan kata-kataku, "ya, satu kata yang mudah di ucapkan namun sangat sulit untuk di praktikkan."

Hening.

"Coba siapa disini yang nggak marah kalo udah wangi bersih seger abis mandi, terus udah wudhu udah siap mau sholat, eh? Ada cicak-cicak di dinding yang nakal tuh. Tanpa aba-aba, langsung 'pluk!' jatuh deh seonggok durian, eh durian... Tahi cicak ding..." Belum sempat kat-kataku selesai, seisi ruangan sudah riuh dengan cekikikan kecil para santri yang merasa lucu dengan mendengar kata-kata yang menurutku biasa saja.

"Mboten nopo-nopo, Gus! Jika cicaknya cantik-cantik kaya yang di atas itu tuh" Celetuk seorang seorang santriwan asal menyamakan cicak sama yang di lantai atas maksudnya adalah lantai dua yang berisi para santriwati.

Cinder-ella di PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang