Pelangi dan Hujan

4.1K 227 60
                                    

Laila pov.

***

"Dua tahun berlalu begitu saja. Dengan kenangan-kenagan pahit dan manis tentunya. Mama dan Papaku resmi bercerai di tahun keduaku disini. Artinya satu tahun lalu.

Aku ikut Mama. Beliau tinggal jauh di luar kota. Beliau tinggal dengan adik kecilku yang hamilnya membuat kedua orang tuaku berpisah. Tapi, aku tak akan membencinya. Dia tak salah. Meski kehamilan Mama di luar nikah tidak terbukti dan adik ku itu sudah terbukti anak Papa dengan tes DNA entah mengapa mereka tak memilih untuk rujuk dan memilih hidup sendiri-sendiri.

Kehidupanku disini tetap di biayai oleh Papa tentunya. Dan Mama menyetujuinya. Begitu juga dengan Yusron, adik laki-lakiku. Aku pernah melihatnya sekali setelah dia lahir, waktu dia diajak kesini.

Jadi rindu ya, pipinya yang gembul dan kemerahan membuat gemas. Sedang apa ya dia sekarang?

Hanya ingatanlah yang menjadi saksi kenangan-kenangan waktu bersama keluarga saat masih utuh. Eh enggak ding, ada satu benda yang masih kusimpan rapi di lemari. Ialah sandal jepit biru bersrampat putih. Awalnya aku tak sadar jika itu akan menjadi hal terakhir yang kubawa dari rumah Papa. Selain uang saku tentunya. Sandal itu mengingatkanku akan liburan waktu Mama ulang tahun. Nggak nyangka itu menjadi liburan terakhir.

Aku sudah naik dua kelas tahun ini dan telah menjalani ujian kenaikan kelas pada minggu lalu. Tau nggak, hafalannya makin kesini makin parah tau. Meski alhamdulillah ujianku kemarin lancar jaya. Seminggu lagi acara akhir tahun, penerimaan raport dan pelepasan kelas enam. Semoga orang tuaku bisa hadir, paling tidak Mama-lah. Aku rindu berat Ma.

Hafalan, lalaran, antri, hukuman. Ah semuanya sudah menjadi rutinitasku. Tentang Ulya, dia sekarang sudah kelas akhir alias kelas enam, sebentar lagi dia lulus ya. Kalo aku, seminggu lagi diangkat jadi pengurus, setelah acara kelulusan dan aku dinyatakan naik tingkat tentunya. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat.

Soal Gus Abbad, karena aku sedang berproses menjalani perubahan maka aku menganggapnya sebagai guru. Aku tidak mau jatuh cinta pada cinta yang salah, meski pada kenyataannya... Ah aku malu mengatakannya. Aku sadar siapa aku siapa dia.

Intinya sebisa mungkin aku fokus pada nyantriku dulu. Kata Umi mentimun di ladang sama kepiting di lautan akhirnya ketemu juga di rumah makan Lamongan hehe, jodoh pasti bertemu, nggak usahlah terlalu dipikirkan." tanganku dengan lincah menari-nari diatas kertas bergaris. Menuliskan kisahku selama ini.

***

Antri, kebiasaan abadi yang dilakukan santri. Nggak ikut antri? Rugi! Itulah slogan kami.

"Mbak, tolong sekalian bawa gayung sabunku juga. Ikut antrian setelah mbak Laila, oke?!" perintah adik kelasku. Namanya Amel, dia suka seenaknya sama senior. Dasar!

"Nggak mau!" balasku cepat.

"Ii iliiih, yang galak. Nggak mau, Mbak? Ya udah aku antri sendiri, aku nggak jadi nyiapin makananan. Aku baru disambang sama ibuk." dia balas mengancamku. Dasar gila ya itu anak.

"Eh, udah deh nggak papa sini aku antriin" buru-buru ku rebut seperangkat alat mandinya, dari pada nggak jadi makan.

Di depan bilik-bilik kamar mandi yang tertutup telah berjajar gayung berbagai warna dengan aneka peralatan MCK di dalamnya. Pemandangan yang abadi, anehnya kami tak pernah sekalipun merasa bosan.

Aku meletakkan gayung kuningku di deretan terakhir salah satu pintu kamar dan disusul gayung milik Amel di belakangku. Iyalah yang titip mah, emang harus ngalah ya. Walau tak ada yang menunggu pun, nggak ada tuh yang curang nyerobot antrian.

Ada sekitar lima antrian di depanku. Coba bayangin satu orang mandi butuh waktu lima belas menit, wah kalo lima orang jadi satu jam lima belas menit. Setelah dipikir-pikir bisa habis tuh IN-nya si Amel. Kupustuskan kembali ke kamar lagi.

Cinder-ella di PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang