Masuk Rumah Sakit

3.7K 189 6
                                    

Abbad PoV

Malam telah semakin larut. Udara yang seharusnya dingin berubah menjadi gerah dan sedikit panas, seiring munculnya suara gemuruh di langit pertanda Malaikat Penebar Rahmat akan menjalankan tugas dari-Nya, menurunkan rahmat berupa hujan yang akan membasahi bumi manusia.

Aku belum juga bisa menembus alam mimpi, indra pernglihatku seakan tak mau terpejam. Keringat tak nyaman keluar dari sekujur tubuhku menambah rasa gelisahku yang bukan tanpa sebab ini.

Berguling-guling di atas ranjang empukku tak juga meredam gejolak hati. Serasa ingin berteriak sekeras-kerasnya jika seandainya aku tak tahu etika.

Nyeri di ulu hati ini begitu sagat terasa. Astaghfirullah hal'adziim... Istghfar tak henti-hentinya ku lafalkan dalam hati.

Ku angkat tubuhku dari pembaringan. Dengan sangat berat ku buang nafas kasarku. Dengan satu tangan mengusap wajahku yang sedikit basah karena keringat dan yang satunya lagi melepaskan dua kancing teratas baju kokoku yang tak kuganti meski akan tidur. Terdengar jorok mungkin, sayangnya kebiasaan ini sudah ku bawa sejak aku berada di pesantren dulu. Dengan terbatasnya fasilitas termasuk pakaian yang ku bawa, sangat tidak memungkinkan untukku menggati pakaianku setiap akan terlelap, apalagi jika di tambah hari hujan seperti saat ini. Dapat ku pastikan santri-santriku saat ini pun sama sepertiku dulu. Tak terkecuali para santri putri.

Kakiku terlebih dahulu turun ke lantai, begitu pula dengan tubuhku yang lainnya. Kini aku telah berdiri dan melangkah menuju kamar mandi dan memilih berwudhu lalu menenangkan diri dengan berwirid dan sholat malam.

Ku utarakan semua keluh kesahku pada Yang Maha Mendengar, tak kuasa aku menahan air mata yang akan tumpah dari kedua pelupuk mataku. Mengingat semua dosa-dosaku terlebih mengingat kejadian saat ku memeluk salah satu santri putriku itu. Seseorang yang telah membuat suasana hatiku tak beraturan.

Memang semenjak kejadian malam itu, sudah sepekan lamanya. Aku tak pernah lagi ada kesempatan untuk mengisi kelas Laila, selalu saja ada pekerjaan yang harus ku kerjakan lebih tepatnya akulah yang mencari-cari kerjaan, betapa pengecutnya aku yang lebih memilih menghindar yang jelas-jelas itu sangat membuatku tertekan. Rasa ingin bertemu dan rasa takut telah melebur menjadi satu dalam ruangan qalbu.

"Ya Allah ampunilah hambamu ini, yang lebih mencintai mahluk-Mu dari pada mencintaimu" Ratapanku meronta-ronta. Memang kadang suatu masalah dapat lebih mendekatkan diri kita pada Sang Pencipta.

***

Laila PoV

Tubuhku menggigil tak karuan. Mataku seperti sulit sekali untuk terbuka meski sebenarnya ingin sekali aku buka. Rasa pening di kepalaku semakin menjadi-jadi.

Ku rasakan sebuah tangan halus menepuk-nepuk pipiku, berikut suara sang empunya tangan sepertinya juga ikut mengganggu telingaku.

"Mbak... Mbak... Mbak Laila..." Suara itu bisa aku dengar, namun sayang tak bisa aku tanggapi.

Semua yang telah ku lakukan dalam hidupku berkelabat saling datang lalu menghilang silih berganti. Membuat kepalaku bertambah kadar kepeningannya.

Kulihat pula bayangan yang belum pernah kulakukan di dalam hidupku. Tampak Mama dengan berurai air mata terduduk di lantai, lalu Papa begitu saja pergi dengan muka yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Lalu berganti dengan kedatangan seseorang yang tak asing lagi di mataku dengan tiba-tiba menangis meraung-raung menarik-narik kemeja Papa yang tak lagi rapi. Meski Mama jarang ada waktu bersamaku, aku tetap tak tega melihatnya dalam keadaan seperti itu, Sayangnya aku tak bisa menggapai perempuan yang sanagat ku cintai itu.

"Mamaaa!" Teriakku bersamaan dengan terbukanya mataku dengan tiba-tiba.

Samar-samar dapat ku lihat beberapa orang sedang mengerumuniku. Namun kesamaranku bertambah parah dengan penglihatanku yang semakin buruk. Semua terasa berbolak-balik sendiri. Kurasakan ketakutan yang sangat, keringat dingin mengalir dari dahiku menuju dagu. Hingga akhirnya...

Cinder-ella di PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang