Ganteng-Ganteng Galak

3.9K 191 18
                                    

Laila pov

***

"Ah!" pekikku kehilangan keseimbanganku pada rakaat kedua sholat dhuha.

"Bruk!" akhirnya aku terjatuh dilantai dengan keadaan mengenaskan. Mukena bagian wajahku tertarik kebelakang disebabkan karna bagian bawahnya tak sengaja terinjak saat bangun takbirotul ihram.

Sudah tiga hari aku belajar menggunakan mukena terusan. Milik Fitri tentunya.

"Aduuuh" erangku menahan nyeri di bagian pinggul dan punggungku.

Semuanya yang juga sedang melaksanakan sholat dhuha bersamaku mendadak gugur. Apa yang pertama keluar dari mulut mereka?

"Innalillahi... Bwahahahaha!" rata-rata dari mereka mengeluarkan tawa tak terkontrol ketika mendapati keadaanku.

Sudah hampir satu bulan sejak kejadian Ulya memelukku. Sejak saat itu juga hidupku mendadak damai. Ah aku begitu sangat menikmati hidup disini.

Benarlah mungkin musuh besarku itu benar-benar lelah. Ia memang tak berubah menjadi ramah seperti kebanyakan penghuni komplek sini. Aku tak peduli itu.

Sedikit perubahannya sangat menguntungkan. Keadaan mentalku yang tertekan menjadi semakin melonggar karna Ulya tak lagi menggangguku.

Aku perlahan mulai melupakan masalah yang dihadapi orang tuaku. Sampai saat ini kabar tentang perceraian mereka belum juga ku ketahui kejelasannya.

Aku mulai sadar. Jika hanya bersedih dan meratapinya tanpa usaha apapun, itu tak akan dapat merubah keadaan. Hanya do'a dalam tiap sujudku yang bisa kuberikan.

"Kenapa, Mbak?" mereka mulai berhenti menertawakanku. Satu-persatu dari mereka mulai duduk mengelilingiku.

"Masa sih, makenya baru tiga hari jatuhnya udah tuju kali" gerutuku sembari melepas mukena kedodoran itu dan melemparnya asal.

Cekikikan tertahan muncul dari mulut-mulut temanku, "nggak papa lah mbak. Kalo Orang Jawa bilang, ibarat anak kecil gitu. Jatuh sekali mundak akale satu, jatuh dua kali, ya meningkat dua kali. Gitu, Mbak" akhirnya salah satu dari mereka mulai buka suara.

"Mundak Akale?" aku tak paham bahasa mereka.

"Tambah pinteeeeer" balas semua orang yang mengelilingiku. Cengiran lebar muncul dari bibirku guna menahan malu.

"Lah ini, aku jatuh tuju kali? Berarti naik tuju dong?" aku kembali bertanya memastikan.

"Iya... Ya gitu mungkin." Siti, yang ternyata tepat berada disampingku menjawab dengan sedikit ragu.

"Ya udah kalo gitu, aku main jatuh-jatuhan aja gimana? Biar pinteran dikit gitu, nggak perlu susah-susah belajar, kan?" kata-kata tanpa filter melucur begitu saja dari mulutku.

"Hadeeh, bukan gitu juga kali. Mbak Laila yang cantiknya melebihi Bidadari, ah" dengan berpura-pura lemas gadis  berpipi tirus dibelakang Tya menyahuti.

"Jelasin, Fit!" suruh si Tirus pada Fitri. Wah harus siap-sip pasang muka serius nih kalo ibu ustadzah -panggilan anak dari kamar Wardah- sudah mulai beraksi.

"Allah berfirman dalam surah..." Fitri mendongak menatap langit-langit kamar. Matanya ia kedipkan berkali-kali. Mungkin dia kelilipan pikirku.

"Ar-ra'du ayat 11" Tya tak tahan menunggu ingatan Fitri yang enggan kembali ke otaknya yang cling itu.

"Ehehe, ya itulah maksudku. Yang artinya..." lagi-lagi Fitri menjeda kalimatnya, "eh bukan ding, yang intinya, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubahnya sendiri" ralat Fitri sebelum menuntaskan kalimatnya sampai akhir.

Cinder-ella di PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang