Semangat (2)

3.7K 201 2
                                    

Ku tarik wajahku menjauh dari hadapannya. Pipiku terasa panas saat menyadari siapa mahluk di depanku ini. Ya! Dialah Gus Abbad atau yang biasa Fitri dan yang lainnya menyebutnya Gus Abhan.

Sedetik kemudian aku baru tersadar. Kenapa dia berada di sini? Bukankah harusnya dia berada di atas mimbar mengisi pengajian? Keningku berkerut halus menggambarkan keheranan di kepalaku.

"Kenapa berada di sini?" Bukannya memperoleh jawaban atas keherananku barusan, malah pertanyaan yang kami lebih tepatnya aku dapatkan dari Si Pemacu Jantung ini.

Fitri menyenggol lenganku untuk menuntut jawaban atas pertanyaan dari idola pondok ini. Okelah aku jawab!

"Aku kesal di dalem nggak boleh ngobrol!"

"Ooh!! Ya udah, emang benar kamu harus disini kalo mau ngobrol! Jangan masuk!"

"Ttttaa... Pi... G..."

"Oke!" Belum sempat Fitri menyelesaikan protesnya pada Gus Abbad keburu ku potong dengan hasil kerja singkat otakku. Alhasil aku mendapatkan reward pelototan tajam dari perempuan di sebelahku ini.

"Mbak Laila ini gimana, sih?" Fitri sudah mulai melancarkan aksi protesnya. Dan hanya ku balas dengan gedikkan bahu.

***

"Hoaaammh! Fit! Lama-lama ngantuk juga yah?" Ucapku sambil menutup kuap dengan punggung tangan.

"Iya, Mbak," dengan mulut yang di manyun-manyunkan Fitri menatapku, "salah siapa juga!"

"Ah! Gue ngantuk Fit, cari angin yuk!" Ajakan aliran sesatku mulai beraksi.

"Nggak! Sana, Mbak Fitri aja sendiri. Nyerah aku, Mbak" Tumben-tumbennya tuh anak nolak. Nggak kesambet kan dia.

"Ya udah."

"Eh! Mbak Laila, tadi kenapa nangis" Seketika kantuk hilang di mataku setelah mendengar pertanyaan Fitri. Pikiranku melayang lagi. Penglihatanku seakan terseret paksa oleh ubin keramik putih mengkilap tempat ini yang memendarkan cahaya lampu bulb dari atasnya. Memantulkan bayangan tak sempurna wajahku, dapat kupastikan pertahanan netraku akan pecah lagi. Sebutir kilauan hangat terjatuh di lantai.

"Loh, Mbak Fitri kok jadi nangis? Aku salah ya?" Seakan penuh dengan rasa bersalah Fitri menatapku. Aku masih menatap ke bawah tak bergeming sedikitpun.

"Maafkan Fitri ya, Mbak. Aku benar-benar tidak tau." Ku tegakkan wajahku dan menatapnya tepat di matanya. Ku temukan satu ketulusan darinya. Fake smile-ku tak muncul lagi kali ini.

Aku beranjak dari dudukku. Hendak melangkahkan kaki di pijakan selanjutnya. Sebelum akhirnya tanganku di tahan oleh perempuan yang selalu setia menemaniku ini.

"Mau kemana? Ini malem-malem, Mbak!" Tanganku belum juga di lepasnya.

"Ijinkan gue sendiri dulu, Fit. Jangan ikuti gue, jangan cari gue! Setelah gue tenang, gue pasti kembali" Balasku tanpa menoleh pada lawan bicaraku ini.

Perlahan Fitri melepas pegangan tangannya yang sempat di eratkan tadi. Ku berjalan setengah berlari tanpa beralas kaki, tak memperdulikan lagi tentang dinginnya tanah yang akan ku pijaki.

***

Abbad Pov

Kulirik jam bandul besar yang terduduk di pojok dekat pengimaman, kini telah berdentang sepuluh kali. Menyiratkan waktu akan beranjak malam. Dan saatnya pengajian harus ditutup untuk segera digantikan dengan mujahadah harian.

"Akhirukalam... Wabillahi taufiq wal hidayah, wa ridho wal inayah, wassalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuuh." Sholawatpun bergema dan para santriwan berurutan menyalami tanpa lupa mencium punggung tanganku.

Cinder-ella di PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang