Laila PovKamar ini begitu sepi ditinggal para penghuninya yang tengah mengambil jatah makan, maklum ini adalah jam istirahat. Kupandangi seluruh penjuru kamar berukuran 3x4 meter persegi bercat hijau muda ini. Nampak cantik dengan lemari-lemari kecil yang tertata rapi guna menampung barang bawaan penghuni kamar, termasuk aku. Disisi sebelah kanan pintu, menempel sebuah cermin kecil yang berfungsi sebagai alat pemompa percaya diri para santriwati di kamar ini, disusul poster besar dari kertas pelangi bertuliskan struktur organisasi dan jadwal piket, ku akui warga kamar ini memang sangat kreatif, desain kamar sempit berpenghuni dua puluh orang ini dapat terlihat luas untuk ukuran penghuninya yang bisa dibilang tidak sedikit, semua teratasi dengan penataan-penataan uniknya. Rak kitab dan buku terpasang di tembok sebelah kiri diikuti dengan gantungan baju disertai hanger bertengger di bawahnya. Tiada baju maupun pakaian lainnya tergeletak atau tersampir sembarangan. Semua tertata rapi.
Aku tersenyum miris melihatnya. Sangat ironis dengan kamarku dirumah. Kamar besar bahkan mampu untuk menampung sekitar lima puluh orang dan ku tempati sendirian, namun terlihat sempit karna berantakan penuh dengan barang-barang yang kukira un-faedah.
Ku tolehkan kepalaku kearah tirai tipis yang melambai karna tertiup angin. Kudapati sebuah jendela di baliknya. Aku penasaran dengan apa yang ada diluar sana. Ku angkat tubuh idealku untuk berdiri menuju jendela itu berada.
Ternyata, masyaallah di luar sana. Walau terlihat tidak terlalu tinggi dari luar, ternyata kamar ini terletak di lantai tiga sejauh mata memandang ke bawah adalah sebuah taman yang waktu itu pernah menjadi saksi bisu tragedi pinsanku. Ternyata terlihat sangat indah jika di lihat dari ketinggian seperti sekarang. Andai saja aku membawa ponsel, pasti momen ini akan aku abadikan.
Mataku masih asyik dimanjakan dengan pandangan jauh di hadapanku. Tiupan angin lumayan kuat menerbangkan ujung-ujung jilbabku yang kusampirkan asal, seakan ikut menahanku untuk terus berada di tempat ini. Kalau aku tak ingat jika Fitri akan mengambilkan antrean makan untukku, tentunya aku akan menghabiskan waktu istitahatku disini. Sekilas sebelum beranjak dari tempatku kulihat samar-samar tampak siluet seorang laki-laki tengah membaca, atau tengah apa, aku tidak tahu pastinya.
Aku tak peduli. Aku tetap beranjak membenarkan tatanan jilbabku, menyematkan jarum pentul di bawah daguku. Mungkin karena kurang berhati-hati jari telunjukku sedikit tertusuk dan mengeluarkan setetes darah. Ah perih juga, aku hendak mengambil sesuatu untuk mengelapnya, tapi lemariku terkunci, ah! Karena keburu perih. Tanpa pikir panjang lagi ku buka lemari Fitri yang mungkin lupa ia kunci. Lagian Fitri pernah bilang kalau aku butuh sesuatu milik Fitri tinggal ambil, ku buka-buka bagian lipatan pakaian Fitri dengan satu tanganku yang tidak terluka, untuk mencari keberadaan tisu. Ternyata benda itu berada di sebuah tempat yang hampir sama bentuknya dengan dompet, hanya sedikit lebih besar.
"Sreek!" Kubuka wadah itu dan hendak mengambil isinya.
"Oh, emang dasar maling!" Sebuah suara membuat ku ingin mendongakkan kepalaku yang tertunduk namun ku tahan, ku menunggu lanjutan dari suara itu.
"Hem..." Ku dengar ia bergumam sinis.
Ku mantanpkan kepalaku untuk melihatnya. Mataku menatapnya datar. Seorang cewek telah berdiri dan memalingkan mukanya dari wajahku dengan tangan dilipat angkuh di dadanya. Sepertinya dia telah siapa menantangku. Ulya! Siapa lagi kalau bukan mahluk mirip Mak Lampir ini yang akan mengataiku maling? Sepertinya tak ada 'kan?. Entah sejak kapan cewek ini masui ke kamar.
Aku hanya diam.
"Emang maling, kan?!," kini matanya menatap aneh ke mataku, seperti ada kesedihan di matanya yang berusaha ia tutupi "apa namanya itu, kalo buka lemari orang sembarangan. Main ambil aja." Ujarnya melanjutkan ucapannya sambil menjukkan dagunya pada sebuah lemari yang masih terbuka milik Fitri, mungkin Ulya berusaha menjelaskan tuduhannya padaku.
"Apa lo bilang?" Kuputar mataku jengah.
"Ya, emang dari dulu, sih. Nggak ada sejarahnya maling ngaku!" Katanya mengutip deskripsi kebanyakan orang tentang maling yang semakin membuatku ingin mendidih.
Terhitung sudah lebih dari dua kali Ulya menuduhku dengan tuduhan yang sama. Bahkan tanpa bukti yang nyata, selain almari kecil Fitri kali ini. Tanganku sudah tak dapat ku tahan untuk tidak melayang hendak menampar pipi manis kemerahannya. Namun ku urungkan.
"Apa?! Mau menampar?!," Ucapnya sedikit naik oktaf, "seharusnya aku! Aku yang berhak menampar kamu! Aku korban dari semua ini! Dasar maling!"
Seketika rasa perih di jariku menghilang raib entah kemana, mungkin berasembunyi karena takut akan ucapan pedas dari Ulya untukku. Ya, untuk siapa lagi selain aku yang bearada di ruangan ini?.
"Apa lo bilang? Gue? Maling? Dan lo, lo korban?" jari telunjukku sudah menujuk muka Ulya yang sembarangan menuduhku, "korban dari mananya?! Orang nyata-nyata disini gue yang sering lo tuduh! Seharusnya gue yang bilang gue korban!" Lanjutku tak kalah sengit.
"Hmm! Terserah!, aku cuma mau bilang kamu nggak beda sama..."
"Mbak Laila?" Suara di pintu memotong perkataan Ulya. Membuat aku dan Ulya refleks menoleh ke arah pintu.
"Fitri?" Tanyaku saat melihat si pemilik suara itu.
"Mbak Laila, ngapain sama Mbak Ulya disini?" Kulihat kening temanku itu sedikit berkerut menggambarkan suatu keheranan.
"Mm! Tanya tuh, sama Maling yang hampir aja kamu jadi korbannya!" Suara Ulya dengan sinisnya menjawab pertanyaan Fitri.
"Maksud Mbak Ulya apa?" Bukannya menuntaskan keheranan dari pertanyaan yang di lontarkan, malah menambah keheranan Fitri.
"Tuh lemari kamu udah terbuka! Dan dompet kamu? Itu di lantai" Ulya menunjuk 'barang bukti' aksi malingku.
"Emang itu udah biasa, Mbak." apa-apaan jawaban Fitri mengatakan ini sudah biasa, "emang barang aku barangnya Mbak Laila juga." Ternyata Fitri membelaku juga akhirnya. Rasain tuh!
"Heh! Kuping lo nggak budek kan?" Sindir ku pada Ulya yang sudah menunduk mungkin malu menyadari kenyataan yang sebenernya, dan akhirnya pergi keluar kamar tanpa lupa mengucapkan salam seperti saat masuk tadi.
"Ada apa ini Mbak sebenernya?" Fitru kembali mengulang pertanyaan yang mengharuskan aku mengingat semua kejadian barusan dari awal lagi.
"Hmm! Biasa" Jawabku asal.
"Udah ketemu apa yang Mbak cari di lemariku?" Tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.
"Udah nggak sakit!"
"Hah?! Mbak sakit? Apanya yang sakit Mbak? Kok Mbak ndak bilang bilang sih kalo sakit?" Tangan Fitri tengah mendarat di dahiku memastikan aku sedang baik-baik saja. Ah! Terlalu berlebihan memang bocah satu ini, menyesal itulah kata yang tepat untukku, setelah mengatakan sakit tadi.
"Heh! Tuyul! Yang sakit itu tangan bukan dahi" Jawabku sebal sembari menoyor kepala perempuan cantik di depanku ini.
"Oh ya?! Mana yang sakit? Biar Fitri obatin?" Ku biarakan tangannya mengecek kedua tangannku yang nyatanya biasa-biasa aja.
"Di bilangin udah nggak sakit. Ngeyel!" Ku tarik tanganku dari genggamannya.
"Beneraaan?"
"Iyaa"
Dahi Fitri kembali berkerut belum sepenuhnya yakin akan ucapanku.
"Nggak percaya? Tadi itu jarikku tertusuk jarum pentul, terus aku cari tisu di lemari kamu yang nggak dikunci. Eh? Malah ada Ulya!"
"Oooh!" Sompret ya ni anak, aku udah cerita panjang-panjang eh? Apa tanggapannya? Oh doang?.
"Udah? Gitu aja?" Tanyaku sebal.
"Ya... Abis gimana lagi ya..."
"Nggak mau heboh ngobatin gue gituh? Cari kotak P3K gituh?" Ucapku sekenanya.
"Hehehe ya maaf, aku kira Mbak Laila sakit apa gitu, Yang parah?"
"Oh! Jadi lo pengen gue sakit yang parah gitu?" Kok aku jadi sensi gini ya? Mungkin efek lapar kali ya? Oh iya! Aku jadi inget, kan tragedi ini berawal dari aku pengen kebawah buat makan ya?
Aku sudah keburu keluar kamar saat Fitri teriak memanggilku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinder-ella di Pesantren
General FictionCerita hanya fiktif belaka ya guyys! Higgest rank on: #1-salaf (13-11-2018) #1-penjara (13-11-2018) #1-pondok (23-03-2019) "Aku nggak mau, nikah sama kamu hanya gara-gara sandal jepit kamu itu." -Abbad Nailun Nabhan "Aku ingin bersamamu seperti sand...