Petir

6.5K 351 200
                                    

Abbad pov

***

Beberapa jam sebelumnya...

"Bhan! Buatin surat dong," pinta Aqil tiba-tiba padaku, "yang romantis gitu." imbuhnya.

"Buat apaan? Kaya nggak ada kerjaan lain aja" timpalku tanpa beralih menatap dan membolak-balik tumpukan kertas di depanku.

"Ish, ini itu momen yang pas. Aku pengen ngungkapin perasaan tau" kesalnya.

"Lah, nggak gentle banget. Bila kau jatuh cinta. Ingin memilikinnya. Minta restu orang tua. Datangilah rumahnya." ucapku menirukan lirik dari salah satu tim hadroh Syubbanul Muslimin.

"Ck!" Aqil hanya berdecak kian bertambah kadar kesebalannya. Sempat kuliriknya yang sedang mencoba menulis suratnya sendiri. Berkali-kali ia merasa gagal lalu meremas dan mengganti kertasnya dengan yang baru.

"Kenapa nggak langsung lamar aja, Mas Qil?" tanyaku di sela-sela kesibukannya.

"Dianya belum lulus. Aku nggak mau memotong dia menuntut ilmu." jelasnya dengan ekspresi datar. Dapat kubaca dari suaranya.

"Tapi kamu sama aja ngganggu dia dong, Mas Qil. Kalo kamu mau nggak mau ganggu, ya udah, tunggu aja dia sampai lulus dulu."terangku meluruskan.

"Nanti keburu diambil orang. Hihi" cengirnya tanpa dosa. Aku hanya menggeleng tanpa mau menggubris permintaanya padaku.

Lama-lama mataku jengah melihat Aqil berkali-kali membuang kertas dan menggantinya dengan yang baru. Kan mubadzir juga tuh kertas.   -_-

Diam-diam ku ambil selembar kertas disampingku dan mulai menulis asal dan menyodorkannya pada Aqil.

Ia hanya terdiam menatapku tanpa mengambil kertas yang ku angsurkan.

"Nggak jadi" ku tarik kembali surat itu.

"Eeeh... Jangan-jangan!" Aqil buru-buru menyerobot kembali kertas di tanganku. Aqil segera membacanya dengan cepat. Ekspresinya berubah menjadi sumringah seketika. Lengkungan diwajahnya yang semula datar kini telah mengembang merekah bak kelopak mawar di siang hari. Sempurna.

Ia segera berdiri tak lupa menyimpan surat buatanku di saku jaskonya. Aqil terlihat sangat bahagia sekali. Kadang-kadang juga ia bersenadung lirih sembari membenarkan letak pecinya di depan kaca almari kayu jati di pojok rungan.

Aku tak terlalu memperdulikannya. Terus kulanjutkan tugasku mengoreksi laporan-laporan di depanku.

***

"Ayo, Bhan. Berangkat udah jam setengah sembilan ini" ajak Aqil dengan melihat ke arah pergelangan tangannya.

"Bentar. Ini dikit lagi."

Aqil sudah lebih dulu keluar dengan wajah berseri-serinya. Aku hanya memaklumi tingkahnya. Begitukah orang jatuh cinta?

***

*Saat ini*

Langkahku yang sedikit jauh dibelakang Aqil mendadak terhenti saat menyaksikan pada siapa Aqil memberikan suratnya. Tepat di depan gerbang perbatasan pondok putri dia berhenti. Lalu mengulurkan tangannya yang berisi kertas bertuliskan makna itu.

Rahangku mengeras. Objek yang berada beberapa meter di depanku seperti sengaja menarik mataku untuk tidak berpaling darinya. Bolpoint hitec-C dan beberapa lembar kertas di tanganku menjadi sasaran rendaman gemuruh di dadaku.

Dadaku mendadak sesak. Seperti terhimpit batu besar. Desiran darahku seakan berhenti begitu saja. Bagaimana mungkin aku membuatkan surat untuk menyakitiku sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinder-ella di PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang