38

1.2K 52 7
                                    

Justin datang ke kantor sore hari setelah urusannya dengan kantor pengadilan selesai. Kepalanya benar - benar pusing memikirkan banyaknya kasus yang harus ditangani Departemen Investigasi. Saat Davine memasuki ruangannya ia bisa melihat bahwa Justin sedang sibuk menelepon seseorang yang kemungkinan besar adalah John. Davine meletakkan map yang ia bawa di meja Justin kemudian ia menunggu di sofa hingga Justin selesai berbicara.

"Apakah yang ini benar - benar mendesak ? Jika tidak, aku akan menolaknya. Kami sangat sibuk akhir - akhir ini bahkan timku harus lembur hingga tengah malam untuk menyiapkan pemberkasan kasus bom yang akan ditutup sepuluh hari lagi. Aku mohon kau mengerti."

"Baiklah aku akan meneleponmu lagi bila aku berubah pikiran."

Sedetik kemudian Justin mematikan teleponnya. Ia mengusap wajahnya beberapa kali. Davine tahu bila Justin sedang stress saat ini.

"Ada apa Davine ?"

"Apakah akan ada kasus baru yang harus ditangani ?"

"Jangan pikirkan kata - kataku tadi. Itu hanya kalimat yang kugunakan untuk menenangkan John. Aku pasti akan menolak kasus baru karena kita sangat sibuk. Lagi pula, itu bukan kasus besar. Pihak kepolisian pasti bisa menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan Departemen Investigasi."

Davine tersenyum mendengarnya. Walaupun terkadang Justin menyebalkan, namun lelaki itu masih memiliki empati kepada timnya.

"Berkas apa ini ?" Justin membuka map yang baru saja diletakkan Davine di mejanya.

"Itu adalah kemajuan sementara dari kasus bom ini. Aku tidak terlalu tahu mendetail mengenai perkembangannya, kau bisa tanyakan hal itu pada Jocelyn nanti."

"Jocelyn ?

"Iya, kurasa dia diam - diam tahu banyak informasi mengenai pelakunya. Kita tunggu saja nanti, ia pasti menyelesaikannya."

"Aku harap begitu." Justin tak terlalu serius dalam menanggapi ucapa Davine. Lelaki itu justru fokus membaca berkas perkembangan bom. Davine berpikir sejenak, apakah ini saat yang tepat untuk bertanya langsung pada Justin.

"Justin, aku ingin menanyakan sesuatu padamu."

"Tanyakan saja." Pandangan Justin masih tetap terpaku pada berkasnya.

"Kau dulu kuliah di jurusan apa ?"

Justin seketika berhenti membaca. Ia menatap Davine lekat - lekat.

"Aku tahu ini tidak penting dan terdengar aneh, namun aku hanya ingin tahu." Davine segera mengklarifikasinya agar Justin tak salah paham dengannya.

"Kau ingin tahu latar pendidikanku ?"

"Umm... Seperti itu. Aku tahu Keluarga Blackwood selalu memiliki kelas pendidikan yang sangat baik."

"Saat lulus sekolah menengah pertama, aku tidak meneruskan ke sekolah menengah atas. Aku memutuskan daftar ke Sekolah Intelejen. Setelah lulus, aku kuliah di jurusan Forensic Psychology of Criminal Justice. Ada apa memang ?" Justin menatap Davine tajam namun perempuan itu justru tertawa ringan.

"Wow kau sangat pintar hingga bisa diterima di Sekolah Intelejen dan kuliah di jurusan bergengsi. Aku kira kau kuliah di jurusan yang sama dengan Jocelyn."

"Tidak sama sekali, Jocelyn adalah dokter forensik. Aku bukan dokter." Justin menegaskannya.

"Boleh kutahu sejak kapan kau mengenal Jocelyn ?" Tanya Davine hati - hati. Justin tampak berpikir sejenak.

Marriage DealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang