LELAKI itu memeriksa arlojinya untuk kesekian kali, memastikan semua yang direncanakannya tidak bermusuhan dengan waktu. Padahal, seharusnya dia sudah tiba di Bandara Soekarno-Hatta sejak siang. Siapa sangka, penerbangan dari Skopje mengalami penundaan berjam-jam?
Padahal, jika semua tepat waktu pun dia masih harus menghabiskan waktu puluhan jam di pesawat. Lelaki itu harus transit di dua bandara, Warsawa dan Singapura. Saat ini, kepalanya terasa pusing, kombinasi dari penerbangan panjang dan kejutan yang sedang disiapkannya.
Maxwell Ravindra, nama pria itu, keluar dari taksi yang ditumpanginya dengan tergesa, lalu mulai menyeret koper. Dia hanya punya waktu sekitar dua jam untuk membuat segalanya sempurna. Lelaki itu langsung menuju lantai delapan belas, tempat kekasihnya tinggal. Saat ini, unit yang ditujunya itu tidak berpenghuni. Namun Maxwell bisa masuk karena memiliki kunci sendiri.
Sejak berada di dalam lift pun Maxwell sudah sibuk menelepon. Hingga dalam waktu singkat, apartemen kekasihnya pun didatangi orang. Semuanya sudah menyatakan kesiapan untuk membantu Maxwell mematangkan kejutannya. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Sheva, sang pujaan hati.
Daisy, Olive, Andrea, serta Widhi adalah para sahabat Sheva yang diundangnya diam-diam, tanpa pengetahuan sang kekasih. Keempatnya tahu apa yang diinginkan Maxwell dan memberi dukungan pada lelaki itu.
"Sheva pasti bakalan kaget. Tapi jenis kekagetan yang bikin bahagia sampai mau pingsan," ramal Andrea via telepon seminggu yang lalu.
"Apa kamu yakin, Dre?" tanya Maxwell, tak terlalu percaya diri.
"Yakin, dong! Pokoknya, ntar sama-sama kita buktiin."
"Aku nggak jago urusan bujuk-membujuk. Tapi..."
"Lebih penting niatnya, Max. Nggak semua cowok punya nyali untuk serius meski usia udah cukup matang. Santailah!"
Jika semua berjalan lancar, barulah Maxwell akan membuat acara khusus dan mengundang tiga sahabatnya sejak masih SMA. Titus, Billy, serta Jacob. Hingga saat itu, Maxwell sengaja merahasiakan semuanya kecuali di depan keempat sahabat Sheva.
Untuk acara spesial ini, Maxwell juga meminta bantuan adik tirinya, Kishi, secara khusus. Kishi yang ditugaskan Maxwell untuk mengurus segalanya di Jakarta sementara dia sendiri harus menuntaskan pekerjaan di situs pemakaman raksasa yang terletak di Vergina. Frekuensi komunikasi dengan video call di antara mereka pun meningkat drastis demi memuluskan rencana Maxwell.
Memilih karier sebagai arkeolog mengharuskan pria itu sering bepergian dalam jangka waktu lama. Namun selama hampir setahun memadu kasih dengan Sheva, Maxwell yakin jika dia sudah bertemu perempuan yang tepat. Sheva tidak pernah meributkan tentang pekerjaannya yang membuat pria itu berada di tempat penggalian atau situs-situs sejarah dalam hitungan bulan. Semua itu yang mendorongnya membuat keputusan penting dalam hubungan mereka.
"Astaga! Dasinya jangan terus-terusan ditarik, Max! Kusut melulu kalau kayak gini," omel Kishi dengan bibir cemberut. "Sini, dibenerin dulu." Dia memberi isyarat agar sang kakak agak menunduk. Maxwell menurut dengan kepala terasa berputar.
"Grogi, heh?" tebak Kishi lagi. Kali ini, suaranya dipenuhi nada geli. "Kayaknya baru kali ini aku ngeliat kamu salah tingkah. Tapi, bisa dimaklumi, sih. Soalnya, nggak tiap hari..."
"Kamu cuma bikin aku makin senewen," potong Maxwell, terdengar sebal.
Kishi terkekeh sambil melepaskan tangannya dari dasi di leher kakaknya. Perempuan itu agak menyipitkan mata sebelum mengangguk puas. "Nah, sekarang baru keliatan gantengnya. Tapi, nggak usah cemberut gitu, dong! Kayak anak kecil yang nggak dikasih permen," ejek Kishi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]
General Fiction[Sebagian cerita sudah dihapus] Maxwell Ravindra mungkin serupa kaktus. Dia bisa bertahan hidup meski menghadapi cuaca tak bersahabat. Pengkhianatan dari perempuan yang nyaris diajak menikah, tak terlalu memengaruhi hidupnya. Lelaki itu masih memili...