Bab 2. Maxwell Ravindra

26.8K 3.7K 116
                                    

MAXWELL menyalakan laptop meski sebenarnya saat itu dia lebih ingin bermain air. Tadi dia memang sempat berenang tapi rasanya masih belum puas. Atau, minimal duduk di tepi pantai sambil memandangi ombak yang tak henti berkejaran. Namun, dia bukan tipikal orang yang meninggalkan tanggung jawab begitu saja. Ini pekerjaan yang sudah disanggupinya, makanya Maxwell tidak bisa mengelak.

"Kurasa, 'tanggung jawab' adalah nama tengahmu. Kamu beneran nggak asyik, Max. Apa sih salahnya nikmati hidup dan nggak selalu harus ngikutin jadwal? Udah kayak stopwatch aja, nggak boleh molor walau cuma satu detik."

Tukang kritik nomor wahid bagi lelaki itu adalah Kishi. Dia tak peduli meski respons Maxwell hanya ekspresi masam atau wajah cemberut. Kishi biasanya akan menceramahi kakaknya panjang lebar, mengecam sikap Maxwell yang dianggapnya kaku.

"Kurasa ada penyimpangan DNA padamu, Max. Kita beda banget, kamu nggak cocok jadi kakakku. Aku santai, sementara kamu itu mirip..."

"Ya, tentu aja ada penyimpangan. Karena mamaku jadi selingkuhan papamu," balas Maxwell pedas. Namun sesaat kemudian dia menyesali kalimatnya, terutama ketika menyaksikan transformasi pada ekspresi Kishi. "Maaf..."

Perempuan itu menjawab dengan nada ketus. "Kamu suka banget nyakitin hati orang lain. Apa karena kelakuan Sheva? Harusnya kamu bersyukur, belangnya ketauan sebelum nikah sama dia. Tapi yang ada kamu malah makin sinis dan kayaknya marah ke semua orang. Padahal kamu tau pasti, aku selalu tulus sama kamu, Max. Aku nggak peduli meski mamamu selingkuhan Papa. Aku nggak peduli meski kamu disebut anak haram atau panggilan kotor lainnya. Buatku, kamu itu kakak cowokku satu-satunya."

Alhasil, Maxwell tidak bisa membalas dengan kata-kata. Dia memilih untuk memeluk adiknya dengan erat. Dalam hati dia bersumpah, takkan pernah lagi mengungkit masa lalunya di depan siapa pun, terutama Kishi. Peristiwa itu sudah berlalu tiga tahun. Hingga detik ini, Maxwell berhasil memegang teguh janjinya.

Maxwell baru saja hendak membuka dokumen yang sedang dikerjakannya sejak seminggu terakhir ketika ponselnya berbunyi. Nama Kishi memenuhi layar gawainya.

"Panjang umur kamu, Shi. Barusan aku lagi ingat kamu, eh udah nelepon aja."

"Pasti untuk alasan yang jelek-jelek," balas Kishi. "Kamu lagi di mana? Ngapain?"

"Lagi di kamar, beresin kerjaan." Tangan kanan Maxwell mengklik salah satu ikon di laptopnya. "Sebelum kamu protes, aku punya alasan kuat, kok! Aku nggak mau ganggu karena kamu lagi kerja. Titus dan Billy bisa ngamuk kalau ngeliat kamu cuma ngekorin aku. Tenang Shi, aku punya waktu berbulan-bulan untuk nyantai."

"Akhirnya kakakku bisa becanda. Nggak sekaku dulu. Ada gunanya juga sok-sokan jadi bangsa Viking dan nggak pulang ke Indonesia selama setahun," canda Kishi sambil terkekeh. "Gosip panas hari ini. Ternyata ada juga cewek yang nganggap kamu itu seksi, Max."

"Ha? Siang-siang gini jangan belagak gila, Shi."

Kishi terbahak-bahak selama puluhan detik. "Ya udah, kalau nggak mau dibilang seksi. Eh iya, nanti kita jadi makan malam bareng, kan? Restorannya yang menghadap ke pantai."

"Oke," jawab Maxwell tanpa bertele-tele. "Sekarang, bisa aku kerja dulu? Biar cepat kelar laporan yang harus kuberesin."

Setelah mendengar adiknya menggumamkan persetujuan, sambungan telepon itu pun terputus. Maxwell kembali memfokuskan perhatian pada layar komputer jinjingnya. Dia baru tiba dari London kemarin malam. Sempat transit di Bangkok, perjalanannya berakhir di Jakarta. Akan tetapi, tujuan utamanya adalah Lombok. Maxwell merasa tidak punya kepentingan apa pun di Jakarta, sehingga lebih memilih menuju tempat Kishi menetap dua tahun belakangan.

Di bandara, adiknya memeluk lelaki itu begitu erat hingga Maxwell kesulitan bernapas. Mereka menjadi tontonan banyak orang yang kemungkinan besar mengira keduanya adalah pasangan kekasih. Namun Maxwell yang -bisa dibilang- tidak terlalu mahir untuk pertunjukan emosi semacam itu, sama sekali tidak keberatan. Karena dia pun sangat merindukan Kishi. Dia sudah meninggalkan Indonesia selama setahun penuh untuk urusan pekerjaan.

Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang