TARA bukan orang yang suka merumitkan hidupnya. Akal sehat gadis itu selalu terjaga dengan baik. Usia muda atau kurangnya pengalaman tak membuatnya menjadi impulsif. Mungkin itu impak positif hidup di keluarga dengan tuntutan tinggi. Tara harus bisa menjaga diri sebaik mungkin jika tak ingin kehilangan kepercayaan diri.
Kian dewasa, dia tak lagi merasa bahwa keluarga sudah menyisihkannya. Meski tidak mudah untuk mengerti, Tara belajar untuk menghalau perasaan negatif di dadanya. May mencintainya dan ingin Tara bisa menjadi perempuan hebat kelak. Sayang, standar tinggi yang ditetapkan sang ibu tidak bisa dipenuhi. Bukan karena dia sudah pasti tak mampu mencapainya. Melainkan disebabkan oleh keinginan-keinginan Tara sendiri yang lebih banyak bertentangan dengan kehendak sang ibu.
Tara mencintai May dengan caranya sendiri. Dia memang dianggap si pemberontak. Namun Tara melakukan banyak penentangan karena ingin ibunya menyadari bahwa dirinya adalah manusia merdeka dengan kedaulatan penuh untuk mengatur hidupnya sendiri. Tara berhak menjalani hidup yang diinginkannya, bukan yang diimpikan May.
Hidup Tara baik-baik saja meski banyak tantangan yang harus dilewatinya setiap saat, terutama jika berkaitan dengan keluarganya. Namun, sejak mengenal Maxwell dan menghabiskan waktu berdua di restoran hingga nyaris pagi, dengan jaket lelaki itu menjadi penghangat untuk tubuhnya, Tara merasa kekacauan mulai mengintainya.
Awalnya, dia mengabaikan perasaan asing yang jelas-jelas tak pernah dibayangkannya itu. Tara berpura-pura tidak ada debar kencang yang seolah hendak meluluhlantakkan jantungnya tiap kali bertemu Maxwell atau mendapat pesan WhatsApp dari lelaki itu. Atau rasa mulas yang membuat lututnya lemas hanya karena pria bermata sayu itu tersenyum kepadanya. Reaksi fisik semacam itu belum pernah dialami Tara. Karena itu dia pun yakin hidupnya menghadapi masalah serius.
Setelah meninggalkan Lombok dan kembali pada rutinitas, Tara masih belum bisa menormalkan dadanya tiap kali Maxwell menghubunginya. Meski tidak berkomunikasi setiap hari, mereka tergolong sering bertukar kabar.
Lelaki itu pernah mengajaknya bertemu dan disambut Tara dengan antusias. Dia melupakan respons fisik saat berada di dekat Maxwell. Akibatnya, ketika bertemu lelaki itu lagi di Jakarta, Tara tidak mirip dirinya. Dia kesulitan bicara dan lebih banyak menunduk. Pipinya sangat sering membara tanpa alasan jelas. Jantungnya pun bertingkah gila seperti banteng yang diprovokasi oleh matador dengan lambaian mantel.
Karena itu, Tara bertekad hanya sekali saja memenuhi undangan Maxwell. Sejak itu, dia selalu menolak ajakan untuk bertemu dengan halus. Sungguh, gadis itu takut dia tak bisa menahan diri saat bertemu Maxwell. Kemarin dia memang lebih banyak berdiam diri. Namun bagaimana jika di pertemuan kedua mereka Tara malah memeluk lelaki itu karena menanggung rasa rindu yang tak masuk akal? Atau, mengucapkan kalimat-kalimat tak terkontrol demi menutupi kegugupannya? Tara sangat mengenal kelemahan-kelemahannya dan tak ingin semua itu membuatnya malu.
Belum lagi hubungan ruwet yang melibatkan Maxwell, Sheva dan Jacob. Semua itu membuat Tara merasa tidak ada harapan. Oh, jangan salah sangka! Tara tidak merasa rendah diri karena ucapan Jacob atau Sheva saat di Lombok. Bahwa Maxwell tidak mungkin tertarik padanya. Sejak awal, Tara memang tidak pernah berpikir sejauh itu. Tak pernah terbayangkan olehnya akan ada pertautan berbau asmara yang mengikat dirinya dengan Maxwell.
Namun, hingga nyaris satu bulan setelah kepulangannya dari Lombok, Tara justru makin tersiksa. Ketertarikannya pada Maxwell tidak bisa diabaikan atau dianggap tidak ada. Mendadak, lelaki itu menyerupai magnet berkekuatan spektakuler yang mengacaukan konsentrasi dan perhatian Tara.
Ada kalanya gadis itu sangat ingin memblokir nomor ponsel Maxwell agar tak bisa menghubunginya lagi. Namun, itu bukan langkah yang dewasa. Maxwell tidak memiliki kesalahan apa pun pada Tara. Lelaki itu bahkan sama sekali tidak tahu kecamuk perasaan yang menyiksa Tara. Jadi, mengapa Maxwell yang harus mendapat hukuman?
KAMU SEDANG MEMBACA
Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]
General Fiction[Sebagian cerita sudah dihapus] Maxwell Ravindra mungkin serupa kaktus. Dia bisa bertahan hidup meski menghadapi cuaca tak bersahabat. Pengkhianatan dari perempuan yang nyaris diajak menikah, tak terlalu memengaruhi hidupnya. Lelaki itu masih memili...