Bab 17. Klimaks

18.1K 3.2K 183
                                    

MAXWELL tampaknya tidak merasa bersalah. Lelaki itu justru tergelak sambil memeluk bahu Tara dengan tangan kanannya. Maxwell menarik gadis itu mendekat ke arahnya. "Aku sengaja mau bikin surprise," akunya.

"Cih, surprise apaan?" cibir Tara. "Aku tadi lagi di kantin pas cewek-cewek fakultas arkeologi ngomongin dosen tamu mereka. Awalnya aku cuek. Tapi pas ada yang nyebut nama, kupingku langsung berdiri. Karena penasaran, aku nanya ciri-ciri fisik dosen mereka. Awalnya tetap mikir kalau cuma namanya doang yang sama. Kebayang nggak gimana kagetnya pas ada yang nunjukin fotomu di hapenya? Diam-diam ada yang motret kamu pas mau keluar kelas. Rasanya pengin terbang untuk jewer kamu karena sengaja ngerjain aku. Eh, baru keluar dari kantin malah dicegat Noah."

Maxwell tidak langsung merespons. Ada jeda berdetik-detik. Merasa lelah, Tara menyandarkan kepalanya di bahu sang pacar. Matanya terpejam.

"Gara-gara masalah itu, aku sampai ngelupain banyak hal lain yang lebih penting. Jujur, pas tadi pagi dia nelepon, aku heran. Karena nanyain aktivitasku hari ini. Pernah sih Noah nelepon aku dan yang lain, tapi sebelum dia batal nikah. Sebulanan ini dia cuma mampir ke Geronimo, ngobrol doang. Nggak ada yang aneh-aneh. Karena dia selalu datang ke kantor Geronimo, makanya kukira dia jatuh cinta sama Noni. Ternyata aku salah."

Maxwell meremas tangan kiri Tara dengan lembut. "Sekali lagi aku bilang sama kamu. Nggak ada yang bisa menghalangi perasaan cinta itu tumbuh. Nggak juga ada alasan yang bisa bikin cinta itu jadi masuk akal. Kalaupun pernikahan mereka nggak batal, apa ada jaminan bakal langgeng? Apa mustahil Noah jatuh cinta sama orang lain di masa depan? Nggak, kan? Jadi, jangan lagi mikir terlalu jauh. Aku kenal kamu, Ra. Kamu bukan tipe cewek genit yang suka narik perhatian cowok. Kamu supel, memang iya. Kamu lawan bicara yang menyenangkan, itu juga betul. Tapi yang perlu digarisbawahi setebal-tebalnya, kamu bukan cewek penggoda. Perasaan orang lain bukan tanggung jawabmu."

Tara menarik napas. Perasaannya begitu kacau sejak pagi. Berkali-kali dia menyalahkan diri sendiri meski Noni dan Ruth berusaha meyakinkannya bahwa Tara sama sekali tidak bertanggung jawab. Namun kalimat panjang Maxwell berusan berhasil mereduksi kegundahannya.

"Tau nggak, Max?"

"Nggak tau," balas Maxwell menjengkelkan.

Gadis itu akhirnya tertawa geli. "Kamu memang cowok paling pengertian yang pernah aku kenal. Bukannya ngomel apalah karena masalah ini, tapi malah berusaha ngehibur aku. Dulu, Noni pernah ngadepin kasus yang mirip kayak gini. Pas cowoknya tau, mereka malah ribut gede. Cowoknya cemburuan dan nyalahin Noni macem-macem. Sampai akhirnya putus." Tara mendongak sejenak, menatap Maxwell. "Tapi kamu beda. Kamu bikin perasaanku membaik."

"Aku nggak sehebat itu, Ra. Aku cuma laki-laki rasional, mungkin karena faktor umur juga. Udah tua soalnya."

"Max, nggak usah lebay, deh!" kritik Tara.

"Serius, aku rasional. Apa yang kuomongin tadi memang nyata, bukan cuma untuk bikin kamu terhibur. Itulah sebabnya aku nggak pernah nyalahin Sheva dan Jacob kalau bahasannya soal cinta. Aku marah karena mereka berkhianat. Bisa bedain, kan?"

Tara akhirnya menjawab pendek, "He-eh."

"Jadi, meski sebenarnya aku kesal banget sama yang namanya Noah karena berani-beraninya jatuh cinta sama pacarku, aku nggak bisa ngapa-ngapain. Perasaan orang bukan urusanku. Kecuali dia udah bikin hubungan kita kacau, itu lain cerita."

Tara merasakan Maxwell mencium rambutnya. Bulu tangan gadis itu berdiri seketika. "Max, aku belum keramas. Rambutku pasti bau banget."

Maxwell terbahak-bahak mendengarnya. "Ya udah, kalau gitu bagian mana yang boleh kucium? Tinggal sebut aja, Ra."

Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang