TARA tak bisa menahan senyum berkali-kali. Dia tak pernah membayangkan Maxwell akan mendatanginya dan mengucapkan kalimat-kalimat yang akan membuat gadis itu merasa bahagia tiada terkira. Kini, Tara sedang menikmati camilan paling nikmat sedunia dengan lelaki menawan yang sedang duduk di depannya. Bukan sembarang pria, melainkan kekasih Tara. Miliknya. Mi-lik-nya.
"Aku pacarmu yang keberapa?" tanya Tara ingin tahu. "Eh, nggak masalah ngobrolin kayak gini, kan? Kamu nggak mendadak sensi dan bakalan ngomong kalau masa lalu baiknya dilupain atau semacamnya, kan?" imbuhnya buru-buru. Tara berhenti mengunyah sponge cake mokanya.
"Aku bukan kayak orang kebanyakan, Ra. Mungkin karena belakangan lebih sering gaul sama mumi dan artefak yang umurnya udah ribuan tahun," gurau Maxwell dengan ekspresi datar. "Wajar banget kalau kamu pengin tau. Nggak ada yang perlu ditutupin. Aku nggak punya rahasia spektakuler."
Sekedip kemudian, wajah Maxwell mendadak berubah lesi. Perasaan tak nyaman sontak seolah baru saja ditembakkan ke dalam dada Tara. "Ada apa?" Gadis itu mendadak cemas.
Bukannya memuaskan keingintahuan pacar barunya, Maxwell malah memandangi gadis di depannya dengan intens. Tara pun menjadi serbasalah meski yakin pertanyaannya barusan bukan sesuatu yang tak patut. "Max..." panggilnya.
Lelaki itu mengerjap cepat. "Ada yang lupa kuceritain sama kamu. Harusnya tadi aku jelasin dulu sebelum ngajak kamu pacaran. Aku cuma takut, kamu ngerasa kubohongi atau semacamnya. Ujung-ujungnya malah nyesel karena mau jadi pacarku."
Tara melongo. "Kamu ini kenapa mendadak nggak pede, sih? Malah bikin deg-degan. Apa yang lupa diceritain? Belum genap sepuluh menit bahagia gara-gara punya pacar, sekarang malah..."
"Mama dan papaku nggak pernah nikah, Ra. Mereka selingkuh dan pisah sebelum aku lahir. Papa udah punya keluarga, anaknya empat. Kishi yang bungsu. Tapi aku nggak pernah ngelewati periode diledek sebagai anak haram dan sejenisnya. Hidupku normal dan bahagia. Kalau dianggap jutek atau sinis, sama sekali nggak ada hubungan sama kondisi keluargaku. Itu kayaknya sifat bawaan. Soal Papa, Mama ngasih alasan klise yang nggak pernah gagal dipakai berjuta kali. Papa udah meninggal waktu aku belum lahir." Maxwell tersenyum tipis. "Itu rahasia mengerikan yang lupa kuceritain sama kamu. Idealnya, sejak awal kamu udah tau."
Tara sempat tergemap mendengar pengakuan gamblang Maxwell, itulah sebabnya dia terdiam sesaat. Akan tetapi, baginya itu bukan alasan kuat yang bisa membuatnya berhenti mencintai seseorang. Lagi pula, itu sama sekali bukan salah Maxwell. Dia menggenggam kedua tangan Maxwell, mengabaikan jari-jarinya yang berminyak.
"Sekarang aku udah tau. Kaget, tapi nggak akan mengubah apa pun. Perasaanku ke kamu, maksudnya." Kalimat itu diucapkannya dengan sungguh-sungguh. Maxwell tersenyum sembari balas meremas tangan kekasihnya.
"Feeling-ku, kamu nggak akan ngeributin hal kayak gitu. Tapi tetap aja aku cemas. Siapa tau, kamu pengin pasangan yang nggak punya cacat di garis lahirnya."
Maxwell memang mengucapkan kalimat itu dengan santai. Ekspresinya pun datar saja. Namun, Tara merasakan kenyerian yang mencubit dadanya.
"Kamu kan nggak punya kuasa untuk ngubah itu. Bukan salahmu kalau orangtuamu nggak pernah nikah. Bukan salahmu juga kalau mereka selingkuh."
Anggukan lelaki itu menjadi respons untuk ucapan Tara. "Aku tau, Ra. Aku nggak pernah merasa rendah diri karena itu. Aku cuma nggak suka karena papaku tipe laki-laki yang nggak bertanggung jawab. Aku baru ketemu Papa sekitar semingguan sebelum beliau meninggal. Waktu itu aku shock banget karena baru tau kalau Papa masih hidup. Tapi tetap ada sisi positifnya. Aku akhinya punya adik yang sayang sama aku, Kishi. Walau dia tau sejarah hubungan orangtuaku, Kishi sejak awal udah menerimaku tanpa syarat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]
General Fiction[Sebagian cerita sudah dihapus] Maxwell Ravindra mungkin serupa kaktus. Dia bisa bertahan hidup meski menghadapi cuaca tak bersahabat. Pengkhianatan dari perempuan yang nyaris diajak menikah, tak terlalu memengaruhi hidupnya. Lelaki itu masih memili...