MENJADI perencana pesta alias party planner bukanlah pilihan karier yang mendapat penghormatan dari keluarga besar, terutama kedua kakaknya. Namun itu tidak menyurutkan langkah Tara Solange untuk tetap menekuni dunia yang disukainya. Bersama dua karibnya, Noni dan Ruth, Tara membangun Geronimo sejak tiga bulan silam.
"Sebenarnya, cita-citamu mau jadi apa sih, Ra? Kenapa bukannya fokus beresin kuliah dulu dan nggak nyambi-nyambi kayak sekarang? Apa puas cuma jadi party planner kecil-kecilan? Jangan heran kalau kamu dikritik melulu sama orang serumah. Kecuali Papa."
"Nggak apa-apa, bisnisnya juga jenis yang nyantai, kok. Aku tetap fokus sama kuliah," balas Tara dengan nada datar. Topik ini menjadi semacam pembahasan rutin yang membosankan sejak Tara memutuskan mendirikan party planner.
"Kenapa nggak kayak kami? Kerja di perusahaan top setelah kuliah beres. Kalau mau buka bisnis, nggak masalah. Asal yang rada berbobot. Ini malah jadi perencana untuk pesta-pesta ala kadarnya yang nggak jelas."
Komentar pedas dari Helga itu cukup memanaskan telinga, mengawali Jumat paginya. Namun Tara tidak mau terpancing emosi. Karena dia tahu, memang itu yang diinginkan oleh kakak keduanya. Tara sudah terbiasa dibanding-bandingkan dengan kedua saudara kandungnya. Meski terlahir sebagai anak bungsu, jangan pernah membayangkan bahwa dirinya mendapat keistimewaan dan kasih sayang berlimpah. Mungkin yang menganggap Tara istimewa hanya sang ayah.
Karena itu, dia cenderung tumbuh menjadi pemberontak. Namun dia melakukannya dengan santai dan senyum lebar. Dia juga tidak mau mengambil jalan yang pernah dipilih kedua saudaranya. Mulai dari sekolah, jurusan kuliah, hingga rencana pekerjaan di masa depan.
Awalnya, semua itu diniatkan untuk menjadi antitesis dari kedua kakaknya. Seiring berjalannya waktu, Tara kian yakin bahwa dirinya memang berbeda dengan saudara-saudaranya. Tidak ada kemiripan bakat, kesukaan, hingga ciri fisik. Hingga Tara pun makin nyaman dengan dirinya sendiri.
"Semua bisnis juga awalnya kecil-kecilan, Mbak. Kami masih akan berproses, nggak bisa langsung sukses besar." Tara mengedikkan bahunya. "Bosen ah, ngomongin masalah ini melulu."
"Ra, kamu kalau..."
"Pagi-pagi kenapa udah berisik? Masih ngeributin soal Geronimo?" tebak Teddy Wiriatman sambil menarik kursi di sebelah kanan Tara.
"Aku cuma ngasih tau Tara supaya fokus sama kuliahnya, Pa. Ngapain coba, bikin bisnis nggak jelas gitu. Kerja kantoran kan lebih oke, gaji dan fasilitasnya bagus. Memang nggak semua, sih. Tapi aku bisa rekomendasiin dia kalau udah kelar kuliah. Papa pun kurasa nggak keberatan ngelakuin hal yang sama," celoteh Helga lancar.
Perempuan berusia 27 tahun itu duduk di seberang Tara. Hanya ada segelas kopi yang tersaji di depannya. Sementara Tara sedang melahap satu porsi nasi goreng kari yang dibuatnya sendiri. Kakak perempuannya itu mengernyit melihat sang adik sarapan dengan nikmat. Bagi Helga, hanya segelas kopi tanpa gula yang dilegalkan untuk masuk ke dalam perutnya sebagai menu sarapan.
"Aku nggak suka nepotisme. Nggak semua anak Papa harus kerja kantoran, kan?" balas Tara santai. Gadis itu menoleh ke kanan, memandang ayahnya yang sedang menuangkan teh panas ke dalam gelas. "Memangnya Papa malu kalau aku cuma usaha party planner nggak jelas gitu?" candanya.
"Ya nggaklah. Papa tetap bangga sepanjang pilihan kalian nggak menyalahi aturan atau melanggar hukum," respons Teddy. "Kedua kakakmu punya karier yang bagus. Satunya manajer personalia, satunya lagi arsitek. Sama kerennya kayak pilihan yang kamu buat, Ra."
"Papa!" Helga mendesah tajam. "Anak ini harusnya disuruh beresin kuliahnya dulu. Gimana nanti kalau dia keasyikan di Geronimo dan ninggalin sekolah? Kita semua tau nilainya nggak sebagus..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]
General Fiction[Sebagian cerita sudah dihapus] Maxwell Ravindra mungkin serupa kaktus. Dia bisa bertahan hidup meski menghadapi cuaca tak bersahabat. Pengkhianatan dari perempuan yang nyaris diajak menikah, tak terlalu memengaruhi hidupnya. Lelaki itu masih memili...