KATA-KATA Kishi itu membuat wajah Tara seolah terbakar. Dia malu sekali tapi tak kuasa melakukan apa pun. Apalagi saat melihat pria yang bernama Maxwell itu malah mengerutkan alis sambil menatapnya. Mana mungkin Tara bisa menebak jika obrolan santai dengan Kishi yang memergokinya melambai ke arah pria asing itu, bisa berakibat seperti sekarang?
"Ra, duduk dulu," Kishi menunjuk ke arah kursi kosong di sebelah kirinya. "Kamu udah makan? Yuk, bareng aku dan Max."
"Aku..."
Ucapan Tara tidak pernah tuntas karena tangan kanannya sudah ditarik Kishi. Gadis itu terpaksa duduk. Di depannya, Maxwell masih menatap Tara dan Kishi berganti-ganti dengan ekspresi datar.
"Max, kenalan dulu. Jangan sok misterius gitu," gurau Kishi. Maxwell kini menurut, mengulurkan tangan kanan seraya menyebutkan nama. Tara merespons dengan sopan, mencoba mengabaikan rasa jengah yang masih membuat kulitnya seolah hendak terkelupas.
"Kamu tadi mau bahas soal pesta piamanya, kan?" Kishi mengingatkan. "Kita ngobrolnya sekalian makan malam bareng. Ketimbang kamu makan sendirian, nggak ada enaknya, kan?"
Tara tersenyum kaku. Andai dia punya waktu untuk mempersiapkan mental, hasilnya takkan secanggung ini. Setidaknya, selama ini Tara menilai dirinya cukup luwes bergaul. Mudah beradaptasi juga. Dia tak mudah merasa kikuk ketika berhadapan dengan seseorang yang baru dikenal.
Namun, apa yang dilakukan Kishi saat ini seolah menodongnya dengan senjata saat Tara mengira dirinya hanya akan diajak bermain. Karena itu, Tara butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri. Otaknya butuh asupan oksigen supaya bisa bekerja maksimal. Dia sengaja tidak menarik dan mengembuskan dengan kentara, karena cemas dikira mengidap asma.
"Aku memang belum makan, Mbak. Tapi nggak enak kalau harus mengganggu acara Mbak dan Mas ini."
Kishi tertawa terbahak-bahak. "Tolong ya Ra, jangan panggil dia 'Mas'. Sama sekali nggak cocok. 'Om' jauh lebih pas karena kayaknya kalian beda generasi."
"Panggil Max aja," imbuh sang kakak dengan nada datar.
Tara akhirnya menatap lurus ke depan, "Oke, Max," balasnya tenang. Gadis itu sudah menemukan kepercayaan dirinya yang sempat berkeping-keping sesaat tadi. Di depannya, Maxwell meraih buku menu dan mulai memeriksanya.
"Max ini baru datang kemarin, Ra. Setahun terakhir dia lebih banyak di Eropa untuk urusan kerjaan. Dia ini arkeolog."
Tara gagal menyembunyikan ketertarikan karena mendengar profesi Maxwell. "Itu kerjaan yang keren banget. Aku belum pernah kenal sama satu arkeolog pun di dunia nyata," cerocosnya.
Sesaat kemudian Tara mengulum senyum karena dia tidak bisa menahan diri di depan orang asing. Ini selalu menjadi salah satu kelemahannya, begitulah menurut Helga dan May. Di mata ibu dan kakaknya, Tara semestinya lebih mampu mengendalikan lidahya agar tidak begitu saja membahas opininya dengan gamblang.
"Berarti ini kesempatan langka, kan?" balas Kishi. "Jadi, Tara, kamu mau pesan apa? Setelah makan, baru kita bahas soal pesta piamanya. Gimana?"
Tara tahu dia bisa menolak keinginan Kishi, begitulah menurut versi kepatutan. Apalagi tidak ada hal krusial yang bisa mengganggu acara besok. Tara menghubungi Kishi hanya untuk memastikan beberapa hal. Dekorasi dan susunan acara, contohnya. Namun, jika tadinya Tara ingin buru-buru meninggalkan meja yang ditempati kakak berdik itu, kini sebaliknya.
Rasa penasaran yang membuatnya tetap bertahan duduk dan ikut memesan makanan. Maxwell, ternyata memang semenawan dalam bayangan Tara tadi siang. Bahkan bisa jadi lebih. Lelaki itu memang bersikap sopan. Akan tetapi, Tara curiga itu hanya untuk menutupi ketidakramahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]
Ficción General[Sebagian cerita sudah dihapus] Maxwell Ravindra mungkin serupa kaktus. Dia bisa bertahan hidup meski menghadapi cuaca tak bersahabat. Pengkhianatan dari perempuan yang nyaris diajak menikah, tak terlalu memengaruhi hidupnya. Lelaki itu masih memili...