Bab 15. Cinta Gila

19.3K 3.3K 192
                                    

TARA tidak tahu apakah orang yang sedang jatuh cinta memang merasa sebahagia ini? Apakah dulu Sheva pun mengecap hal yang sama ketika bersama Maxwell? Oh, jangan salah paham! Dia adalah gadis rasional yang takkan mencemburui masa lalu. Apa untungnya? Yang sudah terjadi takkan bisa diubah di masa depan.

Namun, tetap ada kecemasan yang mengintip. Jika kelak kakak dan iparnya tahu hubungan Tara dengan Maxwell, dia yakin akan ada sedikit masalah. Minimal, adu argumentasi. Tara versus seisi rumah. Dia belum tahu apakah ayahnya akan berada di pihaknya jika tahu apa yang terjadi di masa lalu antara Sheva-Maxwell. Meski logikanya meyakinkan bahwa Teddy akan sepaham dengan gadis itu.

Tara tidak cemas dirinya akan tersudutkan. Dia bisa membela diri. Selain itu, dia tidak merasa membuat kesalahan. Yang ingin dia hindari, keributan seputar hubungan asmaranya. Karena itu adalah bagian dari privasi yang tidak perlu ikut diurusi ibu atau kakak-kakaknya. Tara sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan, kan?

Apa pun kata-kata jahat yang kelak diucapkan Jacob atau Sheva, perasaan Tara takkan berubah. Apalagi dia juga yakin Maxwell memang tulus mencintainya. Bukan karena faktor lain. Membalas dendam pada Jacob, misalnya. Yang benar saja! Ini dunia nyata dan bukan kisah drama ala televisi. Meski bagi banyak orang objektivitasnya akan dipertanyakan.

Teddy sempat menunjukkan kecemasannya di pagi setelah resepsi. Kekhawatiran karena selama ini sang ayah tidak pernah melihat Tara bersama lelaki tertentu. Tidak pernah mengetahui jika putri bungsunya memiliki kekasih.

"Nggak usah panik gitu deh, Pa. Max itu bukan orang jahat yang bakalan bikin anak Papa menderita," gurau Tara sambil memeluk lengan kiri ayahnya. "Aku kenal dia pas di Lombok. Dan dia naksir berat sama aku," sesumbarnya. Tawa geli Tara pecah kemudian. "Untuk sementara, segitu aja keterangannya. Ntar di-update lagi kalau memang ada perkembangan lain."

Teddy membela diri. "Bukan panik sih, Ra. Cuma karena selama ini taunya kamu itu nggak punya pacar dan tiba-tiba tadi malam digandeng sama laki-laki dewasa, terang dong Papa kaget. Jadi nyadar kalau kamu udah gede."

Telinga Tara seolah menegak saat mendengar kata-kata "laki-laki dewasa". Senyumnya terkulum diam-diam. "Kenapa emangnya, Pa? Misal, ini misah lho, ya. Di mana anehnya kalau cewek seumuran aku pacaran sama Max? Dia belum masuk kategori om-om, kan? Selama ini aku pernah nyoba jalan sama cowok sebaya, tapi kok ternyata kurang asyik. Trus ketemu Max yang usianya terpaut lumayan jauh sama aku, sekitar tujuh atau delapan tahun. Yang jelas sih aku ngerasa nyaman. Sekarang sih masih di tahap itu."

"Kalau..."

"Udah deh, Pa. Tumben nanya-nanya detail. Biasanya juga nggak gini-gini amat." Tara melihat arlojinya terang-terangan. "Aku mau ke kampus dulu." Itu setengah dusta. Karena jam kuliahnya baru dimulai pukul setengah sebelas. Namun Tara merasa tak perlu memberi tahu ayahnya bahwa dia akan mampir di apartemen Maxwell sebentar.

Menghabiskan paginya selama kurang lebih satu jam di apartemen Maxwell, Tara kian bersemangat. Jika diibaratkan seperti baterai, dia baru saja diisi ulang. Pernyataan norak? Biar saja, dia tak peduli. Cinta mungkin memang berpotensi membuat gila. Dan Tara sama sekali tidak keberatan. Karena memang ada hal-hal tertentu yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

Kalaupun ada yang dianggap sebagai "gangguan", hanya karena Maxwell yang memilih tak banyak membahas soal pekerjaannya sebagai dosen tamu. Padahal Tara sungguh ingin tahu di mana kekasihnya akan mengajar. Namun Maxwell mengaku bahwa dia belum memilih tempatnya mengajar kelak. Temannya mengajukan dua nama universitas sekaligus.

Hari pertama menjadi kekasih arkeolog menawan, membuat Tara tak kuasa menahan senyum berkali-kali. Hingga Ruth dan Noni keheranan melihatnya. Namun Tara mampu mengelak saat keduanya mencari tahu penyebab senyum lebarnya yang mereka anggap tanpa alasan itu.

Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang