Interupsi :
Aku cuma pengin tau seberapa kalian suka sama kisahnya Max dan Tara ini.
Kalau bagian ini bisa dilihat 2000 kali dan di-like 700 kali sebelum Selasa, aku bakalan posting satu bab lagi.
Sementara jadwal hari Selasa tetap kayak biasa.
Targetnya terlalu lebay?
Nggak apa-apalah ya. Namanya juga target. Kalau tak tercapai pun no problemo. Mari kita tetap bersenang-senang.
Selamat baca, ya.
EKSPRESI kaget di wajah Tara membuat Maxwell menahan senyum. Sebenarnya, dia sudah tiba di gedung tempat resepsi digelar sejak seperempat jam silam. Kedatangannya bukan untuk memberi selamat pada kedua mempelai, melainkan demi menemui adik bungsu pengantin pria.
Maxwell sudah tak bisa bertahan dan berpura-pura semuanya dalam kondisi baik. Fakta yang sebenarnya, dia sungguh tersiksa sejak Tara meninggalkan apartemennya dua minggu silam. Pengakuan gadis itu sukses mengacaukan hidup Maxwell.
Dia tertarik pada Tara, Maxwell takkan membantahnya. Ketertarikan yang berjalan begitu lambat hingga dia tak benar-benar menyadarinya. Lelaki itu bahkan tidak yakin sejak kapan dia merasa bahwa Tara menjadi medan magnet yang terlalu sayang untuk dilewatkan.
Yang pasti, ketertarikan gadis itu pada dunia arkeologi yang sangat dicintai Maxwell, menjadi poin luar biasa. Masih ditambah dengan sikap spontan dan kalimat-kalimat apa adanya yang terbiasa dilontarkan Tara. Gadis itu tidak suka berpura-pura, itu kelebihan yang sangat disukai Maxwell.
Namun, tentu saja Maxwell tidak berani melangkah lebih jauh. Perasaan sukanya tidak akan diwujudkan menjadi bentuk hubungan istimewa apa pun. Tara adalah adik kandung Jacob dan segera menjadi ipar Sheva. Meski dia tak pernah memandang gadis itu sebagai bagian dari hidup Jacob yang harus turut dibencinya, Maxwell tak siap melangkah lebih jauh. Pertemanan adalah hubungan paling rasional bagi mereka berdua.
Maxwell beberapa kali mengontak Tara karena gadis itu kembali ke Jakarta lebih dulu. Tara tetap membalas semua pesan yang dikirim Maxwell, mengangkat teleponnya. Namun mereka hanya bertemu sekali dengan Tara yang lebih pendiam dibanding biasa. Setelahnya, gadis itu selalu punya alasan untuk menolak tiap kali diajak bertemu. Awalnya Maxwell tidak ambil pusing. Sayangnya, kian lama dia justru terganggu. Utamanya, karena Maxwell makin merindukan Tara.
"Max..." Tara mengerjap. "Kamu... udah lama?"
Maxwell maju dua langkah, membabat jarak di antara mereka. Kini, keduanya berdiri berhadapan dengan Tara agak mendongak untuk menatap sang tamu. "Lumayan. Kukira bakalan susah nyari kamu di antara lautan tamu. Ternyata nggak. Aku berdiri di situ sekitar sepuluh menit," Maxwell menunjuk ke satu arah di belakangnya.
Itu memang pengakuan jujur. Dia berdiam lama sembari memerhatikan Tara yang sibuk berbincang dengan banyak orang. Gadis itu memang supel karena tak canggung berkomunikasi dengan siapa pun.
Maxwell terkesima melihat Tara berkebaya. Rambutnya dicepol dengan gaya sederhana, ditambah riasan wajah yang tidak berlebihan. Tara mungkin bukan jenis perempuan yang membuat lawan jenis menoleh sampai dua kali ketika pertama kali bertemu. Namun Tara adalah objek yang enak dipandang dan sama sekali tidak membosankan. Makin lama mengenal gadis itu, kian betah Maxwell menatap Tara berlama-lama.
"Kenapa malah berdiri di situ? Kenapa nggak nyapa aku?" Tara menaikkan alisnya.
"Betah aja ngeliatin kamu."
Wajah Tara memerah seketika. Maxwell tertawa kecil. "Biasa aja kali, Ra. Nggak usah grogi gitu," godanya. Lelaki itu memeriksa arlojinya. "Kamu harus nunggu sampai resepsi kelar, ya? Berapa lama lagi? Aku mau ngebajak kamu soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]
General Fiction[Sebagian cerita sudah dihapus] Maxwell Ravindra mungkin serupa kaktus. Dia bisa bertahan hidup meski menghadapi cuaca tak bersahabat. Pengkhianatan dari perempuan yang nyaris diajak menikah, tak terlalu memengaruhi hidupnya. Lelaki itu masih memili...