TARA sungguh penasaran ingin tahu apa saja yang dibicarakan oleh Jacob, Maxwell, dan Sheva. Entah berapa kali dia curi-curi pandang ke meja yang berjarak lebih lima meter dari tempat duduknya itu. Tara juga berusaha keras menajamkan pendengaran. Sayang, ketiganya bicara dengan suara pelan.
Hanya saja, Tara ikut tersentak saat melihat Maxwell berdiri dari tempat duduknya sambil mengucapkan sesuatu. Namun, tindakan Maxwell membuang kartu undangan ke dalam tong sampah adalah yang paling spektakuler. Saat itu, Tara tidak tahu apakah dia harus bersimpati pada Jacob dan Sheva atau sebaliknya.
"Ra, Max itu nyebelin, ya? Dikasih undangan malah dibuang ke tong sampah di depan orangnya. Heran deh, kamu tadi kok bisa ngobrol nyaman sambil ketawa-tawa. Sikapnya ke kakakmu malah jahat banget."
Tara mengalihkan tatapan ke arah Amanda yang ternyata juga mengamati apa yang terjadi. Gadis itu sempat tercenung karena tidak tahu bagaimana harus merespons.
"Kalau aku jadi kakak kamu, mungkin Max udah kutinju. Soalnya nggak sopan gitu orangnya. Meski aku nggak kenal, tapi jadi ikutan kesel," Amanda bersungut-sungut. Perempuan itu mendorong piring berisi bakmi goreng bumbu kari yang masih tersisa.
"Max punya alasan, Mbak. Dia bukan orang jahat," bela Tara.
Amanda tampak terkejut. "Lho, kamu kok belain dia? Kan ngeliat sendiri sikapnya barusan, kan?"
Tara menjawab dengan suara tenang. "Karena Mas Jac sama Mbak Sheva bikin kesalahan fatal. Makanya aku nggak bisa mihak mereka. Tapi aku nggak bisa cerita detailnya." Tara melirik ke arah dua nama yang baru disebutnya. Pasangan itu sedang berbincang serius. Jacob menggeleng berkali-kali. "Udah ah, nggak usah musingin masalah mereka."
Tara kembali ke kamarnya menjelang pukul sebelas malam. Hari ini dia menghabiskan waktu dengan Amanda berjam-jam, mengikuti ke mana pun perempuan itu menuju. Lombok memang luar biasa cantik. Sayang, baru hari ini Tara punya kesempatan untuk meninggalkan hotel dan mengunjungi banyak pantai menawan.
Selama kebersamaan mereka, Amanda tidak pernah membicarakan tentang Jody atau rencana pernikahannya yang dipastikan batal. Tampaknya, perempuan itu pulih dengan lumayan cepat, meski bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya. Paling tidak, Amanda pintar menguasai diri. Hal itu membuat Tara merasa lega. Dia takkan bisa tenang andai mendapati Amanda tampak babak belur karena patah hati.
"Besok kita jalan lagi ya, Ra. Tapi enaknya dari pagi, setelah kelar sarapan. Biar banyak tempat yang bisa didatangi," usul Amanda sebelum mereka berpisah.
Tara melisankan persetujuan. "Dengan senang hati, Mbak," kelakarnya.
Setelah membersihkan diri dan mengganti baju, Tara pun merebahkan diri di ranjang berukuran queen yang nyaman itu. Belum genap satu menit dia berusaha memejamkan mata, Tara teringat apa yang terjadi di restoran tadi. Awalnya, dia menahan diri agar tidak meraih ponselnya dan menghubungi Maxwell. Sayang, Tara kadang sulit mengendalikan rasa penasaran yang menyentak-nyentak ingin membebaskan diri.
Dengan mata setengah terpejam, gadis itu akhirnya mengetikkan sederet pesan WhatsApp di ponselnya.
Max, kamu udah tidur, ya?
Balasan dari Maxwell datang setengah menit kemudian.
Belum. Kenapa? Mau minta ditemenin makan? Aku juga masih lapar.
Tak sampai seperempat jam kemudian mereka pun sudah bertemu di restoran lagi. Keduanya sepakat memilih restoran di dekat pantai yang juga selalu digunakan untuk sarapan. Kali ini, hanya ada dua meja yang terisi. Tara lega karena tidak melihat tanda-tanda keberadaan Jacob atau Sheva. Maxwell sedang menekuri buku menu ketika Tara sampai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]
General Fiction[Sebagian cerita sudah dihapus] Maxwell Ravindra mungkin serupa kaktus. Dia bisa bertahan hidup meski menghadapi cuaca tak bersahabat. Pengkhianatan dari perempuan yang nyaris diajak menikah, tak terlalu memengaruhi hidupnya. Lelaki itu masih memili...