"KAK EPAAAAANNNNN!!!"
Cito buru-buru masuk ke dalam rumah dengan bola basket di tangannya.
"Cito! Jangan teriak-teriak!"
Memilih tidak mengacuhkan teguran ibunya, Cito terus berlari sampai ia berhasil menemukan kakak laki-lakinya yang masih bergelung dengan selimut di atas kasur.
"KAK EPAN! KAK ECA TADI LAGI JOGGING SAMA COWOK!"
Bagai petir di siang hari, kata-kata dari Cito berhasil membuat kedua mata Devan terbuka.
"Sama Bang Fariz kali," Devan berucap dengan intonasi yang diusahakan tenang lalu menyibak selimutnya perlahan.
"Ya kalo Bang Fariz ngapain gue repot-repot ngasih informasi?" kata Cito. "Liat aja tuh di jendela, kayaknya masih keliatan lagi jalan ke arah sport center."
Dengan singlet warna putih dan bokser bergambar wajah kartun Spongebob Squarepants yang sedang tertawa, Devan bergumam di depan jendela, "Kampret! Siapa tuh? Pagi-pagi udah nyolong start."
i m m a t u r e
Hari masih pagi saat kedua laki-laki itu berlari, saling berkejar-kejaran hingga mencapai garis finish yang mereka sepakati. Seorang perempuan menatap punggung keduanya dengan pandangan heran bercampur kesal sebelum akhirnya berbalik ke arah yang berlawanan sambil menyentakkan kaki.
Salah satu dari laki-laki itu terlihat susah payah mengatur frekuensi oksigen agar tidak kehabisan napas, sementara satunya terlihat sangat tenang dengan langkah kaki yang mantap. Meski begitu, keduanya sama-sama mengerahkan seluruh tenaganya masing-masing, seakan-akan nyawa mereka bergantung pada hasil pertandingan kali ini.
"Lebih baik lo nyerah. Gue kasih kesempatan sebelum lo menyesal," Devan berujar disela-sela langkah kakinya yang diperlambat.
"Nggak perlu," lawannya menjawab ketus.
Devan menyeringai, "Inget, nggak ada kesempatan kedua."
Alfa sudah mengira-ngira sebelumnya sebelum mengajak Devan bertanding, bahwa melawannya bukanlah suatu perkara yang mudah. Tapi, dia kira dengan tubuh tinggi dan juga kaki yang panjang sudah cukup untuk bisa menantang laki-laki di depannya bertanding lari. Toh, postur tubuh keduanya tidak terlalu jauh berbeda. Setidaknya dibenak Alfa dia akan masih bisa menyamakan langkah. Namun, perkiraannya jelas meleset karena sekarang Devan sudah jauh melesat meninggalkannya di belakang.
Alfa menggertakan giginya. Tekadnya hanya satu, dia tidak boleh kalah hari ini.
"Loh itu masnya yang tadi? Kok sekarang larinya sama Mas Devan?"
"Temennya Mas Devan kali, Bu?"
"Ih, Bapak! Malah ikutan." Wanita paruh baya itu menoleh ke arah suaminya yang kini menarik bangku plastik agar bisa duduk di sampingnya, "Kayaknya bukan temen deh, Pak."
"Lah emang kenapa, Bu?"
"Kan tadi Mas itu ngaku calon pacarnya Mbak Eca."
"Terus?" suaminya masih belum mengerti.
"Bapak nggak tau emang? Mas Devan kan naksir Mbak Eca."
"Masa sih, Bu?" tanyanya dengan kening berkerut. "Mas Devan perasaan nggak pernah cerita."
"Bapak nggak inget waktu Mbak Eca sakit? Kan pagi-pagi yang nyuruh Ibu nganterin bubur ayam ke rumah Mbak Eca itu Mas Devan. Terus, waktu Mbak Eca telat, Mas Devan juga udah mesenin bubur ayamnya duluan sebelum Mbak Eca sampe sini."
"Loh? Kayak peramal aja ya?" suaminya tertawa. "Terus kenapa Mas yang baru ini bukan temen Mas Devan?
"Bapak kayak nggak tau aja, cowok kalo suka sama cewek yang sama udah pasti berantem, nggak pernah akur."
KAMU SEDANG MEMBACA
IMMATURE
Teen FictionImmature (adj.) not completely developed physically, mentally, or emotionally. ~~~ "Iya maaf, gue cuma anak SMA labil yang nggak bisa ngertiin kakak." "Jangan minta maaf terus. Emangnya lebaran?" alohomosa ©2018