** Warning! **
Tulisan ini mengandung tema dan muatan konten yang mungkin akan membuat beberapa pembaca merasa tidak nyaman. (Trigger Warning: Self Harm, Blood, Suicide)
Khusus bagi pembaca dengan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) disarankan untuk TIDAK MEMBACANYA karena dapat memunculkan kembali rasa trauma tersebut.
Diharapkan kebijaksanaan pembaca.
***
4 September 2017
"Ayo dikumpulkan," ucap Pak Rian setelah bel istirahat berbunyi, mengacu pada soal-soal sejarah terkait perang dunia kedua yang satu jam lalu ia berikan sebagai tugas harian.
"Yah, belum selesai, Pak," seru para murid yang masih berpatut dengan pulpen dan kertasnya masing-masing.
"Iya, Pak. Soalnya banyak banget nih!" kata Gibran yang ikut mengeluh meski sejak Pak Rian menginjakkan kakinya ke dalam kelas, buku tulis dan buku paketnya masih belum tersentuh juga.
Melihat sebagian besar muridnya belum selesai mengerjakan soal-soal pemberiannya, guru muda nan tampan itu tersenyum pasrah, "Ya sudah, besok pagi tugasnya harus udah ada di atas meja saya ya."
Sorak kegirangan mulai memenuhi ruang kelas seiringan dengan buku-buku tulis yang tertutup di atas meja, namun pertanyaan terakhir yang dilontarkan Pak Rian membuat suasana kelas ikut hening untuk beberapa saat. "Jangan lupa kasih tau Bagas soal PR dan tugas-tugas ya, kasihan dia karena sakit jadi ketinggalan pelajaran."
Gue otomatis mengangkat wajah dari coretan tinta hitam di atas kertas. Jadi, itu yang guru-guru tahu tentang Bagas dan alasannya absen selama hampir seminggu penuh?
Cuma beberapa murid yang menjawab pertanyaan Pak Rian sementara gue melirik ke arah Devan dan Gibran yang terpisah satu meja di depan gue. Keduanya nggak bereaksi apa-apa bahkan enggan mengoreksi pernyataan keliru yang diberikan guru kami.
"Ca," gue menoleh saat Kayla kembali duduk di samping gue. "Ke kantin yuk!" ajaknya.
"Nggak," jawab gue singkat dan terkesan ketus. "Gue nggak laper."
"Nggak laper?" Devan mengulang pernyataan gue barusan setelah berbalik menghadap gue. "Ah, biasanya juga lo kalo makan sebakul!"
"Lagi diet ya lo? Udah ah ayo makan jangan diet-diet segala, Ca. Badan lo lama-lama mirip lidi-lidian ntar." Gibran ikut-ikutan membujuk gue.
"Ayo, Ca. Biasanya makan kan bikin mood lo baikan." Saat Devan mulai bangkit dan menarik lengan gue, di situ gue refleks menyentakkan tangan.
Air muka Devan seketika berubah, pipinya memerah, mungkin mau meluapkan amarahnya akibat sikap menyebalkan gue seharian ini. Gibran cuma mendesah pelan sambil menenangkan Devan. Kayla yang dari awal sudah bersikap canggung di dekat gue pun cuma menggigit bibir.
"Gue nggak laper. Gue nggak mau ke kantin."
"Lo kenapa sih? Ada masalah apa?" tanya Devan meninggikan suaranya.
"Udah lah, Van. Eca belom mau cerita. Jangan dipaksa kayak gitu."
"Ya kalau ada masalah kan cerita harusnya, Gib. Bukannya ngediemin orang terus marah-marah nggak jelas kayak gini!" ujar Devan. "Tadi pagi lo pas lo masuk kelas langsung nangis sesunggukan terus ngediemin semua orang. Kita khawatir tau nggak?"
Gue tertawa sinis, "Khawatir? Tapi kalian diem-diem malah ngekhianatin gue."
Kayla kini ikut bicara, "Khianatin lo gimana sih, Ca?"
KAMU SEDANG MEMBACA
IMMATURE
Подростковая литератураImmature (adj.) not completely developed physically, mentally, or emotionally. ~~~ "Iya maaf, gue cuma anak SMA labil yang nggak bisa ngertiin kakak." "Jangan minta maaf terus. Emangnya lebaran?" alohomosa ©2018