14 September 2017
"Ca!" Devan mencekal lengan gue supaya berhenti memukul lengannya. "Sakit tau!"
"Tadi katanya gue boleh mukulin lo aja kalau masih kesel?!"
"Iya, emang boleh. Tapi, jangan digebukin pake buku SBMPTN juga kali? Itu buku tebel banget kayak dosa."
"Lah, lah. Kok nangis?" cengkeraman Devan berpindah dari pergelangan tangan ke kedua pundak gue yang kini bergetar. "Ca?" tanyanya khawatir. "Gue terlalu kuat megang tangan lo ya?" salah satu tangannya meraih tangan kiri gue.
Untuk beberapa saat Devan terdiam, sorot matanya yang semula khawatir seketika berubah. Mungkin heran? kaget? atau... jijik? Apapun maksud dari tatapannya itu gue langsung menarik tangan gue kembali dan menurunkan kemeja lengan panjang yang gue kenakan.
"Kenapa sih, Van? Gue kira semuanya tuh baik-baik aja," gue menunduk untuk menyembunyikan wajah. "Tapi ternyata malah semua orang itu nganggep gue jahat, ya? Dan temen-temen gue ternyata tau soal ini semua."
"Maaf," ucapnya pelan. "Gue cuma nggak mau bikin lo kepikiran. Lagian—"
"Justru karena itu, Devan! Andaikan lo bilang dari awal, masalah ini pasti udah selesai dari lama," gue memejamkan mata. "Ya udah lah. Mau gimana lagi? Percuma kan gue bilang kayak gini. Lo nggak akan ngerti," gue berbalik, membuat Devan terpaksa melepaskan cengkeramannya.
Setelah gue berjalan sejauh dua meter, Devan baru berseru. "Lo yang nggak akan pernah ngerti, Ca. Kalau semua yang gue lakukan semata-mata demi lo. Gue nggak mau bikin lo sedih, tapi apa akhirnya? Lo tetap berpikir kalau tindakan yang gue lakukan salah."
Gue cuma berhenti melangkah tanpa berbalik menghadapnya, tapi gue bisa membayangkan betapa frustrasinya Devan sekarang. Jemarinya mungkin sudah mengacak-acak rambutnya.
"Gue capek. Terserah lo mau berasumsi kayak gimana sekarang," ujarnya yang otomatis membuat gue berbalik dan menghadapnya.
"Yaudah, jawab pertanyaan gue. Lo sengaja nutupin hal ini buat ngelindungin Tiara kan? Supaya gue nggak berantem sama dia? Iya kan? Gue tau kalian dekat waktu kepanitiaan kemarin, Van." pertanyaan gue entah kenapa membuat sorot mata Devan yang biasanya selalu gue anggap seperti sorot mata seorang bayi kini malah berkilat menyeramkan.
Dia masih berdiri di sana, nggak menjawab pertanyaan gue. Namun, pada akhirnya dia memilih pergi meninggalkan gue sendiri.
i m m a t u r e
Gue langsung memasukkan kunci rumah ke dalam saku setelah tau bahwa ada yang menggantung di sisi lain pintu —penyebab kunci yang gue masukkan tidak bisa berputar.
"Mama? Bang Fariz? Aku pulang!" gue mengetuk pintu nggak sabaran.
"Eh, Mbak Eca udah pulang?" seorang wanita tidak dikenal berdiri di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMMATURE
Подростковая литератураImmature (adj.) not completely developed physically, mentally, or emotionally. ~~~ "Iya maaf, gue cuma anak SMA labil yang nggak bisa ngertiin kakak." "Jangan minta maaf terus. Emangnya lebaran?" alohomosa ©2018