2 : a Gift

3.5K 533 93
                                    

9 Mei 2017

"Ca, gue sama Gibran ke lapangan dulu ya. Nanti lo tunggu di parkiran aja," kata Devan sambil menepuk bahu gue.

Ia tampak terburu-buru, Gibran yang sudah menunggu Devan di depan pintu juga terlihat tak sabar.

Gue menahan tangannya, "Eh, mau ngapain?"

"Dipanggil angkatan atas, tunggu ya!" jawabnya kemudian bersama Gibran berlari ke luar kelas.

Gue melanjutkan acara beres-beres buku. Sekolah udah berakhir beberapa menit yang lalu. Hari ini untungnya nggak ada rapat OSIS jadi gue mau pulang secepat mungkin.

Jadi pengurus OSIS terlebih lagi anggota inti membuat gue jadi sering di sekolah. Kalau kata Papa mah sekolah itu rumah pertama, baru rumah gue yang sebenarnya adalah rumah kedua gara-gara gue jarang berada di rumah —saking padatnya jadwal kegiatan OSIS yang setiap bulan hampir selalu ada acara.

Apalagi jabatan gue sebagai Sekretaris 2 OSIS membawahi bidang-bidang keterampilan serta kreativitas yang otomatis langsung membuat gue jadi panitia inti di acara Pentas Seni sekolah, lagi-lagi jadi sekretaris. Tapi, nggak apa-apa gue senang kok ngejalaninnya.

Setelah memastikan kolong meja gue nggak ada barang yang tertinggal gue melangkahkan kaki keluar kelas.

i m m a t u r e

Incoming Call from Ubi🍠.

"Ha-Halo?" jawab gue yang kaget setengah mati. Ya siapa coba yang nggak kaget kalo ditelfon sama orang yang disuka?

"Hei anak singkong, udah selesai belom sekolahnya?"

"Udah hehe, kenapa Kak? Tumben nelepon."

"Mau nemenin gue nggak? Mau ya? Nanti gue traktir makan deh," bujuk Kak Yoga dari seberang sana.

"Asikkk! Mau lah kalo gitu! Mau ngapain emangnya?"

"Udah nanti aja gue jelasin. Gue udah deket sekolah lo nih," katanya.

"Okidoki, gue tunggu di gerbang ya."

"Sip," Kak Yoga mengakhiri percakapan.

Gue langsung berlari ke arah lapangan. Nggak butuh waktu lama buat gue menemukan sosok Devan, karena tubuhnya yang paling tinggi di antara anak-anak lainnya.

"Devan!" gue berseru memanggil namanya.

Gibran menyenggol lengan Devan terlebih dahulu sebelum akhirnya ia menoleh ke arah gue. Kayaknya efek samping terlalu tinggi itu bikin jadi budeg ya?

"Bentar lagi, Ca. Masih ngomongin ketua futsal selanjutnya," kata Devan setelah menghampiri gue.

"Bukann," gue menggeleng. "Gue nggak jadi pulang bareng lo nih. Gue dijemput."

"Yaudah gapapa. Sama Bang Fariz kan?" tanyanya.

"Engga, sama Kak Yoga hehe. Dia ngajak gue jalan."

Kening Devan berkerut, "Kak Yoga? Hmm, ya udah, have fun ya!"

"Okay, daahhh! Gue duluan yaa," gue melambaikan tangan ke arah Devan yang dijawab dengan anggukan kecil.

i m m a t u r e

Sudah toko ketiga yang kami hampiri di pusat perbelanjaan ini, setelah Kak Yoga beberapa kali menolak saran gue membelikan sepatu, baju, dan tas akhirnya kita memutuskan untuk mencari hadiah di toko buku dan beberapa pernak-pernik lainnya.

IMMATURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang