Sebelumnya part ini akan menceritakan tentang beberapa scene di film Spider-Man Homecoming. Jadi, yang belum nonton dan nggak suka di spoiler boleh di skip aja.
***
Vespa tosca milik Devan masih melaju membelah keramaian kota Jakarta pada malam hari. Kaca helm sengaja gue buka, membiarkan angin malam menyapa wajah yang masih kelihatan lelah ini.
"Ku pernah punya mobil balap ku sendiriiii."
Sudut bibir gue tertarik ke atas begitu mendengar Devan mulai bernyanyi. Kebiasaannya saat berada di motor, pasti nyanyi. Gue mendekat ke arah telinganya, "Ganti dong liriknya! Kita kan naik motor vespa bukan mobil balap."
"Oh iya, bener juga," katanya sebelum melanjutkan bernyanyi, tentu dengan lirik yang sudah dia ganti. "Ku pernah punya motor vespa ku sendiriii yang bisa ngebut di jalanan tiap hariii. Ku tidak pernah merasakan kesepian, tak ada gadis yang menolak diantarkaaan."
"ASOY GEBOY NGEBUT DI JALANAN IBU KOTAAA, DIPAYUNGI LAMPU KOTA DI SEKITAR KITAAA!"
"HOY!" Devan menirukan suara instrumen musik yang ada di lagu tersebut. "HEY!"
Kami berdua tertawa, masa bodoh dengan tatapan aneh yang dilayangkan oleh beberapa pengendara yang berada di sekitar kami. Sama dengan lirik lagu Mobil Balap dari Naif, malam hari ini lampu-lampu jalan yang di pasang berjarak menerangi perjalanan gue dan Devan. Kerlap kerlip cahayanya muncul dari beberapa kafe yang ada di pinggir jalan juga berasal dari gedung-gedung tinggi yang masih kelihatan sibuk meski waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
"Suara lo jelek juga ya, Ca?" ucap Devan.
Otomatis gue mencubit pinggangnya. "Heh enak aja! Suara gue masih lebih bagus ya dari pada suara lo."
"Nggak usah sombong. Waktu itu Gibran pernah cerita kalo suara lo payah pas ngamen."
"Dih enak aja! Gara-gara gue tuh kelompok gue dapet duit banyak."
"Apaan, paling juga karena kegantengan Tristan sama Gibran."
"Dih enak aja!" bibir gue terkatup rapat setelahnya karena sadar bahwa fakta kalau hasil ngamen hari itu banyak memang efek Tristan dan Gibran ada di kelompok gue atau karena gue yang beruntung ada di kelompok mereka, sama aja.
Motor Devan berhenti begitu lampu lalu lintas memancarkan warna merah dan mulai menghitung mundur sampai kembali berubah menjadi warna kuning lalu hijau. Tentu kami nggak mau kalau sampai harus dikejar polisi karena menerobos lampu merah seperti cerita di lagu yang tadi kami nyanyikan.
"Ngomong-ngomong, Ca," Devan menggantung ucapannya.
"Apa?" otomatis gue mendekatkan wajah ke pundak kanannya. Bersamaan dengan Devan yang juga menoleh ke sisi kanan membuat jarak kami berdua cukup dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMMATURE
Novela JuvenilImmature (adj.) not completely developed physically, mentally, or emotionally. ~~~ "Iya maaf, gue cuma anak SMA labil yang nggak bisa ngertiin kakak." "Jangan minta maaf terus. Emangnya lebaran?" alohomosa ©2018