Hari Minggu memang identik dengan hari bermalas-malasan nasional, wajar setelah melewati berbagai macam rutinitas yang melelahkan orang-orang di bumi pasti memanfaatkannya untuk beristirahat. Kebanyakan akan dihabiskan dengan tidur sampai sore atau nonton acara kartun pagi yang spesial ditayangkan beberapa stasiun TV swasta dalam keadaan belum mandi.
Tapi, minggu pagi gue kali ini ingin gue manfaatkan dengan produktif yaitu belajar naik motor. Hitung-hitung biar nggak nyusahin Bang Fariz kalau gue minta antar-jemput dan irit ongkos naik ojek online. Apalagi bulan depan gue udah kelas 12 yang otomatis jadwalnya makin sibuk dan nggak nentu. Gue juga masih harus rapat dan nyiapin segala hal untuk acara pensi yang makin dekat.
Sebelumnya gue udah minta izin ke Papa minta dibelikan motor dari sebulan yang lalu, tanggapan Papa sih santai beliau malah mendukung gue untuk bisa mengendarai motor.
"Baguslah, biar jadi wanita mandiri," gitu katanya.
Beda sama tanggapan Mama yang malah histeris sendiri, "Adek serius mau bawa motor sendiri? Adek kan belom punya SIM? Nggak usah aneh-aneh deh nanti kalo lecet gimana? Kalau jatuh di jalan? Kalau remnya blong? Kalau nanti ada yang begal gimana? Udah deh nggak usah, kan ada Bang Fariz yang nganterin."
Jelas, pendapat Bang Fariz berbanding terbalik dengan Mama, dia justru kegirangan waktu tau gue mau belajar motor. "Alhamdulillah Fariz bisa nyari cewek lagi!"
Mama yang kebingungan bertanya dong, "Hubungannya apa, Bang?"
"Jadi gini Mah, penyebab Fariz jomblo adalah karena cewek-cewek pada ngira adek itu pacarnya Abang. Nah kalo adek bisa naik motor sendiri kan berarti jok belakang udah available, iya kan?" jelasnya.
"Halah bilang aja kamu belom move on dari Bunga," celetuk Papa yang sukses membuat Bang Fariz mingkem.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nah, kemarin sore motor gue baru aja sampai nih, tapi masalahnya orang rumah nggak ada yang mau ngajarin gue. Papa udah ada janji sama bapak-bapak kompleks buat lari pagi, Bang Fariz nolak dengan alasan mau ngerjain proposal tugas akhirnya. Mama jelas-jelas nggak bisa naik motor, terakhir diajarin Papa beliau malah pulang dengan keadaan menyedihkan akibat masuk empang Pak RT. Jadi, pilihan terakhir gue jatuh kepada Devan yang mau tidak mau harus mau ngajarin gue naik motor.
"Assalamualaikum Bunda," gue memberi salam lalu mencium tangan Bunda Ita, Bundanya Devan.
"Wa'alaikumsalam sayang. Sini, ayo masuk," gue mengekori Bunda sampai gue melihat Cito —adik laki-laki Devan— yang lagi selonjoran di sofa ruang keluarga.
"Iyalah, emang Kak Epan? Kebo!" jawabnya, cuma Cito yang manggil Devan dengan sebutan itu.
Melihat arah mata Cito yang tetap fokus menonton televisi, gue ikutan menengok. Sekarang layar TV selebar 42 inci itu menampilkan siaran ulang dari kartun Kura-Kura Ninja. Sesekali Cito tertawa saat menonton aksi tokoh Michelangelo —biasa dipanggil Mikey— yang mulai bertingkah konyol di depan penjahatnya. Gue masih mengamati kartun ini sampai akhirnya menguap karena bosan. Selain nama karakternya yang keren karena pake nama-nama seniman di Abad Renaissance, gue nggak menemukan magnet lain yang bisa buat gue suka sama kartun ini. Tapi, walau bagaimanapun gue tetap diam membiarkan Cito bahagia dengan hal-hal yang dia sukai. Walau dalam hati gue masih berharap Cito ganti salurannya ke channel Disney agar gue bisa nonton Gravity Falls.