6 : Effort

2.2K 439 103
                                    

"Perjanjian awal jam berapa? Jam 8? Terus kenapa jam 9 baru pada dateng? Kesiangan? Masih ngantuk? Yang mau libur tuh bukan lo doang. Mikir kek, temen lo yang dateng tepat waktu mungkin udah ngorbanin suatu hal tapi lo masih nyantai-nyantai. Ngapain lo jadi panitia kalo nggak mau ikut usaha nyari dana hah? Cuma mau dapet kaos sama name tag doang? Mau numpang eksis? Sorry, tapi kalo niat lo hanya sebatas itu mending lo ngasih surat pengunduran diri sekarang juga."

Ya itulah sarapan gue di pagi hari yang cerah ini. Dari yang gue lapar banget belum sempat makan karena buru-buru berangkat eh ternyata pas sampai lokasi malah jadi orang pertama yang datang. Udah datang paling pertama ternyata masih kena omelannya Tristan juga. Hadeh.

"Tuh liat temen lo, baru juga gue bilang," ujar Tristan saat Devan baru saja selesai memarkirkan motor vespa kebanggaannya. Sambil membawa tas ukulele di pundak ia buru-buru menyusup ke dalam barisan tepat di belakang gue.

"Lagi marah-marah ya?" bisiknya sambil menurunkan tasnya ke aspal. Gue menyikut perutnya pelan sembari memaki tanpa suara.

"Eca," panggil Tristan memberi kode agar gue maju ke depan. "Sebutin yang nggak dateng siapa aja sama alasannya," lanjutnya lagi.

Gue menyebutkan beberapa nama dan alasan ketidakhadiran mereka kemudian mengamati barisan panitia sampai gue yakin orang yang gue cari memang nggak datang untuk ke sekian kalinya pada jadwal ngamen minggu ini.

"Hmm... Bagas belum dateng dan nggak ada kabar sama sekali," ucap gue ragu.

"Bagas udah ngundurin diri dari kepanitiaan, semalem dia nemuin gue langsung."

Jawaban Tristan sukses membuat gue melongon "Hah, serius?" gue berbisik pelan.

Gue kaget karena khawatir terhadap kondisi keuangan pensi karena keluarga Bagas adalah salah satu donatur terbesar sekolah, ditambah ayahnya yang merupakan pemilik perusahaan properti ternama pasti koneksinya banyak otomatis bisa membantu kami nyari sponsor. Sangat disayangkan dia harus keluar.

"Iya, lo tau lah alasannya kenapa," katanya sepelan mungkin, gue refleks menatap Gibran dan Devan bergantian. Sementara Raka di sudut lain tetap memasang wajah datar, entah kenapa gue yakin masalah Bagas ada kaitannya dengan Raka, tapi nggak tau pasti apa masalahnya, yang pasti cukup rumit sampai Bagas enggan sekali berada di satu tempat yang sama dengan Raka.

"Ya udah, ayo jalan sebelum makin siang," ujar Tristan ke seluruh panitia.

Karena yang bawa gitar cuma ada empat orang yaitu Devan, Raka, Gibran, dan Naufal maka kami dibagi menjadi empat kelompok. Setelah Tristan selesai memberikan instruksi kami mulai bergerak ke rumah-rumah warga.

Kali ini gue berpisah dengan Devan dan bergabung dengan kelompoknya Gibran, bagus sih karena permainan gitarnya Gibran lebih baik dari pada Devan jadi gue bisa request lagu saat ngamen nanti. Kalau sama Devan paling lagunya cuma mobil balap doang atau engga dekat di hati, bosen. Oh iya, gue juga bisa hemat suara karena ada Tristan yang ikutan gabung di kelompok Gibran, selain jago ngomel Tristan ternyata jago nyanyi.

Gue udah cerita belom sih?

Belom ya? Ya udah, gue cerita sedikit aja tentang Tristan.

Belom ya? Ya udah, gue cerita sedikit aja tentang Tristan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
IMMATURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang