Pertemuan Di Bawah Hujan

123 2 2
                                    

Hujan belum reda, bahkan lebatnya semakin rapat. Bel pulang sekolah sudah lama berbunyi, meski banyak yang berteduh, namun tetaplah suasana sekolah semakin sunyi.

Satu - persatu mereka telah di jemput, hanya jejak bekas telapak kaki menemaniku.

Bunyi detak suara hujan memicu detak ketakutan jantungku, aku takut, gelap semakin cepat melahap.

"Andai saja, ayah masih hidup, dia pasti sudah menjemputku". Aku membatin sedih. Aku kehilangan saat masih kecil.

Ayah tiba - tiba pingsan sepulang kerja, tidak lama nafasnya terhenti seketika, ayah pergi untuk selamanya. Itulah yang ku tahu tentang ayah dari cerita ibu, sebenarnya cerita itu ku dapatkan karena membujuk ibu berkali - kali untuk bercerita, sebelumnya ia tidak mau membahas tentang suaminya, mungkin alasannya tidak mau membuat hatinya bersedih kembali.

Sekarang, aku hanya tinggal bersama Ibu.

Apalah daya dari seorang Ibu yang sibuk berkarir, ketemupun dia selalu dingin , tidak  memberi perhatian lebih kepadaku, seperti orangtua lainnya kepada anaknya.

Ibu? Kemana sosok ibu bagiku, wujudnya terlihat, namun hadirnya tidak terasa . Bukan karena durhaka kepada perempuan yang melahirkanku, ibuku terlihat jijik menatapku. Aku jarang berbicara dengannya, seumur hidupku, sekalipun ia tidak pernah menyapaku, aku ingin bertanya, namun sorot matanya menakutkan.

Itulah sekilas tentang sejarahku. Hidup yang seolah tak hidup, aku seperti mati, tanpa ada kehidupan dan harapan.

Karena berharap banyak dari seorang ibu yang dingin, tidak akan mendapat lebih atau bahkan terpenuhi dari apa yang sedang ku inginkan. Bahkan untuk menyapaku, ia enggan.

Namaku Alexa. Usia sekarang 11 tahun. Aku baru masuk SMP. Jarak sekolah yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dari rumah, harus ku paksakan untuk jalan kaki ke rumah, meskipun setiap hari, rasanya rutinitas itu sangat melelahkan, harus tetap dipaksakan, karena untuk penghematan uang dan bisa ditabung.

Meskipun ibuku dingin, uang jajanku tidak kurang, bahkan lebih, hanya saja aku tidak mau berfoya-foya, karena suatu kali pernah terlintas dalam pikiranku, seadainya ibuku meninggal, maka itulah alasanku berhemat, tidak seperti orang kaya lainnya, dengan uangnya dia bisa membeli apapun dengan sesukanya.

"Hai, mau pulang bareng ga?" Tiba - tiba, aku dikagetkan oleh suara berat dan asing di telingaku. Aku hanya diam menatapnya bingung.

"Alex, siswa kelas 9 dan populer di SMP Islamic School ini". Dia ulurkan tangannya, dengan gaya berlagak keren, aku acuh dan tidak peduli.

"Jangan GR dulu, memang banyak wanita terpesona kepadaku, tapi aku bukan cowok gampangan untuk tertarik kepada wanita" Dia tersenyum angkuh, membuatku semakin jengkel.

"Kalau tidak gampangan, ngapain ngajak bareng pulang wanita yang ga dikenal". Bathinku sambil mengalihkan pandangan darinya.

"Aku melihat kamu tadi pagi dari rumahku, Jalan kaki berangkat ke sekolah, kita tertanggaan, aku baru pindah dua hari yang lalu ke rumah yang ada disamping rumahmu, lebih tepatnya kita bertentangga". Dia seakan membaca pikiranku.

"Oh gitu" Aku masih tidak menghiraukannya.

"Kalau engga mau bareng, aku pulang duluan ya, udah gelap dan seram". Dia berjalan menuju motornya dan meninggalkanku.

Karena suasana semakin malam, aku berlari menuju ke arahnya.

Akhirnya aku pulang berboncengan, di bawah hujan dengan pemuda yang baru saja ku kenal.

Pemuda yang sombong dan menjengkelkan, kini tengah mengendarai pespa dan aku duduk dibelakangnya.

Hujan semakin lebat, aku yang terjebak pada suasana aneh ini.
Hari itu, membuatku menyukai hujan. Meskipun rasa suka kepada hujan masih tertutup rapat, tidak berani ku buka sedikitpun.

***
Terimakasih kepada pembacaku, Bahagia selalu.
Kepada pembacaku, engkaulah jiwa-jiwaku. Terimakasih.
------------------------------------------------------
Like share n comment guys :)

Misteri- USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang