SINC : 24th

4.2K 231 1
                                    

Hai semuanya...

Mau tau dong apa pendapat kalian soal chapter sebelumnya?

Kalian lebih setuju Alice & Erick atau Alice & Excel? Kalau aku prefer sebenarnya lebih setuju Alice dengan Excel...

Tapi, yang namanya takdir tidak bisa dilawan.

Oke, terlalu banyak curhat disini juga gak guna. Langsung cus ke chapter 24.

Hope you like it!!!

***

Alice :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alice :

Alice menangis tersedu-sedu di bawah rembulan. Dia menekan dadanya yang terasa sakit, rasanya sangat sesak hingga membuatnya sulit untuk bernapas. Baru pertama kalinya, Alice mengetahui apa itu cinta, bagaimana rasanya mencintai seseorang, tetapi dalam sekejap dia juga harus mengetahui apa itu pengorbanan, dan bagaimana rasanya kehilangan. Alice menangisi nasibnya, karena kutukan itu dia harus berpisah dengan Excel. Dan hal terburuk lainnya dia telah menyakiti perasaan pria itu.

Alice menatap air danau yang tenang. Danau buatan yang memang ada di belakang istana. Seketika Alice teringat akan mimpinya, disaat dia bertemu dengan Kylie pertama kalinya, dan tercebur ke dalam danau. Alice mengingat sebelum dia terbangun, dia mendengar sendiri Erick menyatakan perasaannya. Perasaan yang berusaha Alice tepis jauh dan lupakan. Tetapi, malam ini, di hadapan danau dan juga bulan yang sebagai saksi, Alice akan berusaha untuk menerima perasaan pria itu. Bagaimana pun dia telah ditakdirkan untuk hidup seumur hidup bersama pria itu. Pria yang diam-diam memendam rasa kepadanya.

Alice teringat kembali bagaimana saat itu jantungnya berdegup kencang. Alice tidak pernah merasakan itu sebelumnya. Jujur saat Erick menyatakan cinta padanya, Alice rasanya ingin memekik girang. Tetapi, logika membuatnya tersadar bahwa sudah ada Excel di sisinya. Pria yang mampu membuatnya nyaman dan merasa disayangi.

Alice menggerak-gerakkan kakinya gelisah. Dia yakin bahwa dia mencintai Excel, bahkan dia merasa sakit saat kehilangan pria itu. Tetapi, jantungnya selalu berdegup kencang ketika berdekatan dengan Erick.

Alice menghapus air matanya kasar, menengadahkan kepalanya, menatap bintang-bintang di langit yang tidak banyak hari ini.

"Tidak baik duduk di sini sendirian," tegur seseorang yang sudah berdiri tepat di belakang Alice.

Alice mengenali suara itu tanpa dia harus berbalik melihatnya. "Untuk apa kamu di sini, Erick?"

Erick berjalan menghampiri Alice, kemudian duduk di sebelah gadis itu. "Aku telah mendengar semuanya dari Raja Arthur dan ini benar-benar kejutan buatku."

Alice menoleh ke arah Erick dengan sebelah alis terangkat. "Apa kamu senang?"

Erick menghembuskan napas, menatap lurus ke depan dengan pikiran menerawang. "Sejujurnya iya, karena kamu sudah tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Tetapi, jika dengan memilikimu malah membuatmu dan Excel terluka, aku tidak menikmatinya. Rasanya aku seperti orang yang bahagia di atas penderitaan orang lain."

"Tetapi, ini bukan salahmu..."

Erick menoleh ke arah Alice, menyentuh pipi gadis itu dan mengusapnya lembut. "Memang bukan. Tetapi, tetap saja rasa bersalah terhadap Excel itu ada. Dia pria yang baik dan tulus. Aku bisa melihat seberapa besar cintanya padamu lewat kedua matanya."

Alice menjauhkan tangan Erick dari wajahnya, kemudian menunduk. "Ya, aku tahu akan itu. Aku bisa melihat kesedihan di matanya dan rasanya sangat menyakitkan."

Erick menghela napas dan kembali menatap ke depan. Memandangi air danau yang tenang, ditemani suara jangkrik yang bernyanyi.

"Memang menyakitkan, tetapi ini juga demi kebaikan. Kamu hanya ingin melindungi Excel dan kita semua juga tidak ingin kehilangan dia. Perlahan, Excel akan bisa menerimanya dan menemukan kebahagiaan dia sendiri. Mungkin perlu waktu, tetapi aku yakin dia kuat untuk menghadapinya."

Alice menoleh ke arah Erick, menatap pria itu dengan sendu. "Apa benar dia akan kuat? Dia bisa melewatinya?"

"Tentu saja. Kita sekarang adalah temannya dan sebagai teman kita harus selalu mendukungnya," jawab Erick sambil tersenyum lembut pada Alice.

Alice ikut tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya.

"Lalu, bagaimana dengan dirimu sendiri? Apa kamu siap untuk bersamaku?"

Alice menghela napas, kemudian meraih kedua tangan Erick yang ukurannya dua kali lipat dari tangannya. "Mungkin sekarang aku belum bisa membalas perasaanmu, tetapi aku akan coba menerimanya. Kita jalani hubungan ini bersama dan ku harap tidak ada lagi masalah yang akan menimpa kita."

Erick tersenyum mendengar pernyataan Alice. Dia mengelus rambut panjang gadis itu. Sementara, tangannya yang lain menggenggam tangan Alice. Memberikan kehangatan pada gadis itu yang mulai kedinginan.

"Aku akan selalu di sampingmu, Alice. Suka maupun duka, mari kita lewati bersama."

***

Excel :

Excel menatap nanar cincin pertunangannya dengan Alice. Padahal esok adalah hari yang sudah ditunggu-tunggu olehnya, tetapi sekarang semuanya hancur berantakan.

Dia memasukkan kembali cincin itu ke dalam kotaknya, menyimpannya di dalam laci nakas kamarnya.

Thea masuk ke dalam kamar Excel, duduk di sebelah putranya dan menggenggam kedua tangan Excel. "Ibu tahu bahwa ini berat. Tetapi, ini semua demi kebaikan. Sejujurnya ibu bingung harus percaya dengan apa yang dikatakan oleh Alice atau tidak. Tetapi jika ternyata benar, bukankah justru kamu akan kehilangan segalanya? Mungkin kamu bisa menikahi dia, tetapi kenangan yang kalian ciptakan hanya sedikit. Belum lagi ayah dan ibu juga harus kehilangan dirimu, kami tidak akan sanggup. Kamu adalah putra kami satu-satunya, anak kebanggaan kami."

Excel menoleh ke arah Thea, menatap ibunya dalam. Apa yang ibunya katakan ada benarnya. Dia tidak bisa egois dan terpuruk, dia tidak boleh membuat kedua orang tuanya cemas dan sedih.

Excel tersenyum pada Thea, kemudian mengangguk. "Terima kasih, ibu. Excel akan kuat menghadapi semua ini asalkan ayah dan ibu selalu mendukung Excel."

Thea mengangguk, menangis terharu, lalu memelukputranya.



Bersambung....

She is not CINDERELLA | RE-UPLOADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang