SINC : 18th (2)

4.5K 255 1
                                    

Aloha semua!!!

Oke, sesuai dengan judulnya maka chapter ini adalah lanjutan dari chapter sebelumnya.

Kenapa dibagi dua?

Karena ini tuh panjang banget wkwkwkw... Lucunya mimpinya Alice bisa macam satu harian penuh.

Oke, setelah kita lihat kejutekan dan kegalakan Alice di chapter selanjutnya. Maka di chapter ini, author bakal mengajak kalian buat lihat seberapa so sweet-nya si Erick.

Ops! Spoiler dong... Hehehehe 😅

Intinya baca saja sampe habis.

Happy Reading....

***

Alice :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alice :

Saat ini Alice dan Erick tengah berjalan bersisian di tepi danau. Sudah setengah perjalanan dan tidak ada satupun yang berinisiatif membuka suara. Hanya terdengar helaan napas Alice beberapa kali. Tenggorokannya terasa gatal dan ingin berucap sesuatu, tetapi mengingat siapa lawan bicaranya, niat itu segera diurungkannya jauh-jauh.

"Apa kamu serius menjalin hubungan dengan Excel?" tanya Erick tiba-tiba.

Alice menghentikan langkahnya saat dia merasa mimpi ini semakin aneh. Tidak mungkin apa yang terjadi di dunia nyata, bisa berhubungan langsung dengan mimpinya. Terlebih lagi kini Erick dan dirinya seolah tengah mengobrol di dunia nyata.

"Erick.... Ini semakin aneh.... Mimpi ini benar-benar membuatku kebingungan," lirih Alice. Matanya melirik ke sekitar saat dirasakannya bulu kuduknya meremang.

"Mungkin ini yang dimaksud oleh Kylie tadi."

Alice menggelengkan kepalanya dan menarik pundak Erick agar pria itu mendekat. "Aku sama sekali tidak pernah memikirkan atau mengharapkan pertemuan ini, Erick. Tidakkah kamu sadar bahwa pertemuan pertama kita saja sudah terasa tidak benar?"

Erick menurunkan tangan Alice dengan sopan, kemudian tersenyum. "Aku menganggap ini semua benar, Alice. Pertemuan kita memang benar, walaupun harus dilalui dengan berbagai tindakan konyol."

Alice menatap kedua manik mata milik Erick. Manik mata itu menyorotkan sesuatu, tetapi Alice tidak memahaminya. Dia hanya terus menatapnya hingga tidak sadar bahwa dia telah terjerumus ke dalamnya.

"Erick...." lirih Alice membuat Erick menoleh. Dengan segera, Alice menutup kedua telinga Erick dengan tangannya sambil memejamkan mata.

"Hei! Apa apa?" tanya Erick kebingungan dan berusaha menurunkan tangan Alice, tetapi gadis itu sangat keras kepala.

"Jangan! Aku tidak mau kamu mendengar detak jantungku," ucap Alice tanpa sadar yang berhasil membuat Erick bungkam.

Sadar akan apa yang diucapkannya, Alice langsung menurunkan tangannya dan membalikkan badan. Tidak berani untuk menunjukkan wajahnya pada Erick.

Erick berdeham, berusaha menetralkan detak jantungnya. Dia tersenyum penuh arti saat mengingat kalimat yang diucapkan Alice. Dia yakin bahwa saat ini gadis itu pasti sangat malu. Dengan perlahan, Erick melangkah mendekati Alice. Sementara, Alice sendiri langsung memejamkan matanya saat merasa seseorang mendekat.

Kedua tangan Erick terulur ke depan dan melingkari perut ramping Alice. Tubuh Alice menegang dan Erick dapat merasakannya. Erick menarik tubuh Alice supaya mendekat, hingga dadanya bertabrakan dengan punggung milik Alice. Erick bahkan bisa mencium aroma sampo yang dipakai oleh gadis itu dengan jarak sedekat ini.

"Walaupun kamu tidak mau aku mendengarnya, aku tetap bisa merasakannya."

Alice membalikkan badannya dan menatap Erick dengan wajah merah padam. "Mengapa Erick?"

"Karena aku cinta padamu, Alice. Bahkan rasa cinta itu melebihi apa yang kuperkirakan. Aku mencintaimu lebih dari arti cinta itu sendiri. Karena bagiku, cinta bukan dinilai dari apa artinya, tetapi bagaimana cara kita mengungkapkan perasaan yang disebut cinta itu."

Alice merasa pipinya kian memanas mendengar penuturan Erick yang sangat manis. Pria itu berhasil menggetarkan hatinya. Membuatnya merasakan euphoria dalam sekejap.

Alice mengangkat tangannya, membelai rahang Erick, membuat pria itu memejamkan matanya. "Mengapa harus aku, Erick? Aku yakin banyak wanita diluar sana yang menginginkanmu."

Erick membuka matanya dan menangkup pipi Alice. "Ketika hati ini menyebutkan namamu, aku bisa apa? Bukan aku yang menentukan kepada siapa perasaan ini mau berlabuh, tetapi hati ini yang memilihmu."

Alice terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia benar-benar kebingungan. Dalam satu hari, dua pria sudah menyatakan cinta padanya dan dia tidak bisa memilih di antara keduanya. Alice memang senang berteman dengan Excel, apalagi dia hendak dijodohkan dengan pria itu. Bersama Excel membuat dirinya nyaman. Tetapi, saat bersama dengan Erick, dia merasakan hal yang belum pernah dirasakannya.

Alice menurunkan tangannya yang masih berada di wajah Erick. Alice mundur perlahan-lahan dengan kedua mata memandang lekat mata Erick. Sedangkan, pria itu hanya diam saja melihat Alice mulai menjauhinya.

Alice berusaha menekan logikanya, mengabaikan perasaannya dan mulai berlari menjauh. Ini tidak boleh. Dia tidak bisa terjebak di antara keduanya. Tidak mungkin dia menjalin hubungan dengan Erick di mimpi ini, dan bersedia ditunangkan dengan Excel di dunia nyata. Ini sama saja dengan pengkhianatan walaupun secara tidak langsung.

Alice berlari semakin jauh. Sudah berpuluh-puluh pohon pinus yang dilewati, tetapi dia belum tahu kapan dia akan berhenti. Tiba-tiba saja sebuah cahaya putih muncul di hadapannya dan menyerapnya masuk ke dalam.

Alice merasakan tubuhnya terjatuh ke dalam lorong dimensi yang tidak ada ujungnya. Dia berteriak ketakutan, namun tidak ada yang dapat menghentikan ini semua. Alice pasrah, dia menutup matanya dan waktu terasa berjalan lama, hingga dia merasakan mendarat pada sesuatu yang empuk.

***

Alice membuka matanya dengan napas terengah-engah dan peluh yang membanjiri keningnya. Butuh waktu beberapa detik untuknya mengumpulkan kesadaran. Matanya bergerak liar dan dia menghembuskan napas lega saat menyadari bahwa dia masih berada di kamarnya.

Alice mengusap ranjangnya dan menengadah, menatap langit-langit kamar dan tidak menemukan hal-hal aneh. Dia yakin sekali bahwa ini bukan sekadar mimpi, dia bisa merasakan bahwa dia benar-benar terjatuh ke dalam lorong dimensi.

Alice melirik ke arah jendela, di mana tirai masih tertutup rapat. Hari telah pagi dan pantas saja dia telah kembali pada dunianya. Alice bangun, merapikan tempat tidurnya dan melipat kembali selimutnya. Dia bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.


Bersambung....

She is not CINDERELLA | RE-UPLOADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang