SINC : 2nd

7.4K 468 0
                                    

Hello semuanya....

Untuk SINC aku usahain buat update setiap hari, kecuali hari minggu.

Kenapa aku buat cerita ini padahal MSL dan SnT belum kelar? Itu karena aku tiba-tiba kepikiran, tertarik dan iseng. Aku sudah mikirin konsep hingga cast yang aku gunain. Dan sepertinya SINC ini akan lebih pendek dari cerita aku sebelumnya. Palingan 20an atau 30an sudah ending.

Semoga kalian suka ya dengan cerita tema ini. Jangan lupa tinggalkan beri vote jika kalian suka.

Happy Reading....

***

Alice :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alice :

Alice membuka tirai merah yang menutupi jendela hingga cahaya rembulan masuk dan sedikit menerangkan pencahayaan di ruang penyimpanan ini. Alice memandangi bulan yang penuh dan tidak bergerak sama sekali. Terlihat tenang, ditemani oleh beberapa bintang yang berkelap-kelip. Seandainya bintang jatuh itu nyata, dia ingin berharap agar ibu dan saudari tirinya bisa menerimanya hingga memberinya sedikit kebebasan untuk menghirup udara luar.

Alice menghela napas saat menyadari bahwa ayahnya tak kunjung pulang dan itu menandakan bahwa ayahnya telah memutuskan untuk pergi lagi.

Ayah Alice—Adolf de Marthaguella—bekerja sebagai penasehat utama kerajaan Orion.

Alice memang jarang sekali bertemu dengan ayahnya dikarenakan kesibukan yang ayahnya kerjakan di istana dan juga karena Nathalia tidak membiarkan mereka untuk berdua saja.

Alice kembali merenung, memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa segera keluar. Perutnya berbunyi dengan keras karena dia belum memakan atau meminum apapun sejak sore tadi. Dia hanya takut tidak mampu bertahan hingga esok hari dan membuat ayahnya cemas. Alice meremas perutnya saat merasakan mual. Dia menutup matanya, berusaha mengalihkan rasa mual dengan hal lain. Hingga tanpa sengaja, dia tertidur dalam waktu yang lama.

***

12:00 AM

Alice merasakan semilir angin yang berhembus dari arah timur, membelai-belai pipinya dan juga menerbangkan ujung-ujung gaun-nya. Dengan enggan, dia membuka mata dan terbelalak saat mendapati dirinya tengah berada di atas kursi santai yang biasanya terdapat di pantai-pantai. Dirinya lagi-lagi dikejutkan saat mendengar suara ombak yang menabrak karang.

Alice mendudukkan dirinya dengan benar dan memeriksa pakaiannya. Dia bernapas lega saat melihat pakaiannya masih utuh. Namun, yang membuatnya heran ialah dress putih polos yang melekat di tubuhnya. Seingatnya ini bukan yang terakhir kali dia kenakan dan jelas ini bukan miliknya.

Alice bertambah panik dan hendak berdiri. Namun, suara berat milik seseorang mengalun dari belakangnya, membuat tubuhnya menegang.

Dengan perlahan, Alice membalikkan badannya dan tatapannya jatuh pada sepasang sepatu pantofel hitam mengkilat. Alice mendongakkan kepalanya pelan-pelan dengan perasaan was-was. Matanya beradu pandang dengan manik hitam yang seolah menjungkar balikkan dirinya di dalam lautan.

"Apa kamu baik-baik saja?" Suara berat dan seksi itu menggetarkan jiwa raga Alice. Baru kali ini dia bertatap muka dengan seorang pria lebih dari dua detik.

Dia ingin mengucapkan sesuatu, namun satu kata pun tidak mampu dia ucapkan dan semuanya malah melekat di tenggorokannya.

Pria tampan yang menyadari kecanggungan Alice segera menghampirinya dan berjongkok tepat di sisi kanan Alice.

"Kamu pasti bingung dengan semua ini," ucapnya tiba-tiba.

Berdekatan dengan pria itu, membuat jantung Alice berdetak tak karuan. Dia bahkan mampu menghirup aroma tubuh pria itu yang memabukkan. Sangat maskulin di indera penciumannya.

Pria itu meraih tangannya lalu mengecupnya lembut. "Kamu tidak perlu ambil pusing dengan semua ini. Yang terpenting di sini hanya ada kita. Hanya kamu dan aku."

Matanya membulat sempurna saat merasakan bibir seksi itu menyentuh kukitnya. Rasanya tubuhnya terbakar dan dia berubah sesak.

Pria itu mengembangkan senyumannya saat melihat semburat rona merah timbul di pipinya yang putih mulus.

"Si-siapa kamu?" Alice berusaha menjaga agar suaranya tenang, namun yang keluar adalah kegugupan yang luar biasa.

Pria itu melepaskan tangan Alice lalu beranjak berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. "Kamu tidak perlu tahu sekarang. Belum saatnya..."

Alice mengerjap-ngerjapkan kedua matanya saat mendengar apa yang disampaikan pria asing itu. Dia ingin bertanya lagi, namun tiba-tiba kabut putih muncul di antara mereka. Membuat Alice tidak bisa melihat pria itu.

Kabut mulai menghilang dan pria itu juga menghilang. Alice berdiri dan matanya mengelilingi setiap tempat, namun dia tidak mendapati siapapun di sana. Alice jatuh terduduk di atas pasir putih dan tanpa bisa dicegah air matanya mengalir begitu saja.

"Tolong...."

Klik

"Alice?

***

"Alice?"

Alice mengerjapkan matanya saat mendengar seseorang memanggil namanya. Wajah ayahnya terpampang di depan wajahnya dan dengan segera Alice memeluk ayahnya.

"Ayah, Alice takut...."






Bersambung....

She is not CINDERELLA | RE-UPLOADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang