Bagian 32: The Tale of Father and Son

2.8K 272 32
                                    


"Kenapa papi bisa sekuat ini?" tanya Brian

"Karena anak papi sehebat kamu."

"Kok tumben pake kamu?" Brian heran karena tidak biasanya Bagas menggunakan aku-kamu. Bagas tertawa dan berkata, "Barusan gue ngeliat lo kayak Brian kecil."

Rasanya saat itu Brian ingin memeluk ayahnya, setelah akhirnya ia mendengar semua cerita dan penjelasan sang ayah, tetapi Brian terlalu gengsi dan ia malah tiduran di kursi panjang taman tersebut. Bagas mengangkat kepala Brian dan menidurkan kepala Brian di pahanya.

"Dari kecil lo paling suka tiduran ngelihat langit."

"Iya?" tanya Brian. "Brian gak banyak inget waktu kecil Brian gimana. Brian ingetnya pas kita udah pindah lagi ke Jakarta abis papi lulus."

"Haha. Dari kecil lo emang udah anak outdoor."

"Pi, abis mami pergi papi gimana?" tanya Brian penasaran.

Bagas menerawang sambil ikut memperhatikan langit di sore itu. "Ancur. Rasanya papi kehilangan semua. Orang tua, teman teman, sekarang istri. Waktu itu gue cuman punya lo, Bri. Di situ gue baru sadar, kadang kadang kita butuh kehilangan hampir semua yang kita punya.. biar kita jadi orang yang baru."

"Kayak Thor," potong Brian.

"Captain America lebih keren, tapi ya lo ngerti maksud gue. Bener kayak Thor."

"Papi lanjut kuliah?"

"Iya. Awal awal papi bingung banget. Kayak gak ada energi, anggep aja mobil mau jalan tapi gak ada bahan bakarnya. Papi lost sampai akhirnya papi sadar. Papi mau anak papi jadi anak pinter. Susu bayi gak murah, lo harus bisa makan sehat,  sekolah yang bagus, biar lo jadi orang pinter."

"Tiap malem papi kebangun dan cuman bisa nangis diem-diem. Menyesali perkataan papi ke mami. Bertanya tanya kenapa mami gak pernah balik. Apa yang mami kamu lagi lakuin. Apakah dia baik baik aja? Papi gak pernah tau. Papi cuman bisa.... Gitu deh."

"Nangis?"

"Bahkan pas lo masih kecil pun gue gak pernah mau nangis depan lo. Mungkin lo gak inget, tapi gue takut aja alam bawah sadar lo nginget itu. Mami bener, gue terlalu keras sama diri gue sendiri."

"Sampai sekarang masih gitu loh, Pi," komentar Brian.

"Haha ya itulah gue," tawa Bagas mentertawakan dirinya sendiri. "Cuman satu yang jadi hiburan gue saat itu. Ngeliatin elo. Lo pas kecil tuh hiperaktif banget. Berisik. Terus gue mikir... mungkin itu cara lo untuk ngehibur gue. Hahaha. Aneh ya? Tapi gue percaya itu. Motivasi gue cuman satu. Gue harus bisa bikin lo ketawa terus. Hidup lo enak. Dan gue sadar untuk itu gue harus kuat. Kuliah harus jalan, kerja harus jalan. Kerja ya untuk duit bertahan hidup, kuliah untuk masa depan yang lebih baik aja. Buat lu."

"Capek banget pasti ya?"

Bagas mengagguk. "Tapi ada aja orang yang bantu gue. Kang Asep, Bu Asep, Oma Indri. Oma Indri itu lebih dari sekedar dosen pembimbing buat gue. Dia itu... ibu gue di kampus."

"Oma sebaik itu ya?"

"Gue pernah punya salah sama lo, yang masih suka ganjel di gue."

"Apa pi?"

Bagas mengingat kejadian waktu itu. "Waktu pertama kali lo gue bawa ke kampus, orang orang merhatiin dan nanya. Gue malu, waktu itu gue jawab, lo tuh adek gue. Bahkan pas Oma Indri nanya pun gue jawab lo adek gue. Padahal Oma Indri udah tau kejadiaannya."

Bagas melanjutkan ceritanya. "Oma Indri mau bantuin uang kuliah papi, cuman dengan dua syarat."

"Syarat apa?"

Mio FiglioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang