16

2.7K 271 26
                                    

Azka dan Ana tiba di kantor sudah menjelang siang. Tapi tentu saja mereka tidak bersama-sama turun dari kendaraan dan berhenti di depan lobby. Ana turun agak jauh dari kantor dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Sedangkan Azka menghentikan mobilnya di depan lobby dan memberikan kunci mobil ke petugas satpam. Tentu saja Azka sudah mengganti stelannya dengan yang baru supaya sekretarisnya tidak bertanya-tanya dalam hati jika dia memakai pakaian yang sama dengan yang semalam dikenakannya.

"Selamat siang, Pak Azka. Ada tamu di dalam ruangan Bapak."

Azka mengernyitkan dahinya, karena setahunya dia tidak sedang membuat janji dengan seseorang. "Siapa, Marisa."

"Yang kemarin datang membawa makanan, Pak."

Hanim? Batin Azka. Astaga, semalam dia melupakan Hanim yang menunggunya untuk makan siang. Hanim pasti marah.

Azka masuk ke ruangan dan melihat Hanim yang sedang duduk di sofa sambil membuka-buka majalah.

Hanim langsung mendongak begitu mendengar suara pintu terbuka. Hanim memasang senyum terbaiknya dan berdiri menyambut Azka. "Kak Azka."

Wajah Azka tetap datar menatap Hanim. "Ada perlu apa, Nim."

Tentu saja Hanim tersinggung dengan ucapan Azka. Dia kan calon istrinya, jadi dia berhak datang kapan saja ke kantornya kan? Tidak perlu ada urusan tertentu jika dia ingin mendatangi calon suaminya di kantornya. Bahkan Azka tidak meminta maaf kepadanya karena meninggalkannya begitu saja kemarin. Tapi Hanim tetap memasang wajah tersenyum.

"Aku bawakan makan siang untuk kamu, Kak. Ini aku yang masak sendiri. Aku masak dendeng balado, Kak."

Azka jadi tidak enak karena itu mengingatkan Azka dengan kejadian kemarin. "Maaf, semalam aku gak bilang kalau ada keperluan mendadak."

"Gak apa-apa kok, Kak. Hanim ngerti kok. Kakak kan orang sibuk. Hanim harus belajar memahami pekerjaan Kakak dari sekarang supaya kelak saat Hanim jadi istri Kakak, Hanim sudah terbiasa."

Azka merasa jengah mendengar ucapan Hanim. Entah kenapa dia tidak suka Hanim sudah menyinggung kata istri itu. Azka merasa dia kemarin terlalu terburu-buru saat memutuskan akan melamar Hanim. Ada rasa sesal di dalam hatinya. Tapi, dia sudah terlanjur melamar Hanim, dan tidak mungkinkan dia membatalkannya? Dia bukan pria yang suka ingkar janji apalagi menjilat ludahnya sendiri.

Karena sekarang memang sudah siang dan sudah jam makan siang, Azka pun langsung mengajak Hanim makan makanan yang dibawanya. Azka tidak banyak bicara dan lebih banyak diam, hanya menyahuti ucapan Hanim sesekali.

Dalam hati Hanim sangat kesal akan sikap dingin Azka kepadanya. Bukankah dia calon istrinya? Kenapa Azka tidak bisa bersikap lebih mesra kepadanya?

Ponsel Hanim berbunyi, Hanim mengambil ponsel dari tasnya namun langsung merejeknya begitu melihat nama yang tertera di layar.

"Kok gak diangkat?" Tanya Azka.

Hanim jadi gugup mendengar pertanyaan Azka. "Engghhh...salah sambung, Kak."

"Ohh.." Azka pun melanjutkan makannya hingga selesai.

"Kak, Hanim pulang dulu ya. Bisa antar Hanim ke bawah."

Azka menganggukkan kepalanya dan berdiri untuk mengantar Hanim.

Saat sudah di lobby, Azka berpapasan dengan Ana dan teman-temannya, mereka mungkin baru saja kembali dari makan siang.

Ana sangat kesal melihat anak pelakor itu sedang bersama Azka dan tangannya yang bergelayut di lengan Azka. Dia gak suka melihatnya, rasanya seperti ada sebilah belati yang menancap di dadanya, sakit sekali rasanya.

"An, entah kenapa ya, gue kok punya feeling kalau perempuan yang bersama Azka itu tidak sealim penampilannya." Bisik Yuni kepada teman-temannya setelah Azka dan Hanim menjauh.

"Kenapa lo sampai berfikir seperti itu?" Tanya Reni.

"Ya gak tahu gue. Tapi lo hati-hati ya, An." Ucap Yuni lagi.

"Isshh...lo bikin takut Ana saja, Yun. Kami tahu lo punya indra keenam. Tapi belum tentu kali ini insting lo benar." Sahut Reni.

"Ya sudah. Gak usah dibawa ke hati." Ucap Yuni.

Ana terpekur memikirkan ucapan Yuni tadi. Dan memang biasanya insting Yuni gak pernah meleset. Tapi apa coba yang akan dilakukan anak pelakor itu, dia kan gak pernah mengganggunya. Ahh sudahlah. Yang jadi pikirannya sekarang justru dia tidak suka Azka begitu dekat dengan anak pelakor itu walaupun dia sadar kalau anak pelakor itu calon istri Azka. Ahh..kenapa aku jadi seperti ini? Apa karena aku terbawa perasaan dari kebersamaan kami semalam? Azka...Azka....Azka....kenapa sih kamu ada di kepala cantikku terus.

***

Sampai di dalam taksi, Hanim langsung menghubungi balik seseorang yang meneleponnya tadi.

"Gimana kelanjutan hubungan kalian?" Tanya seseorang di seberang sana.

"Tenang aja. Nanti malam Papa dan Mama akan ke rumah Azka untuk membahas acara pertunangan kami." Terdengar suara tawa di seberang telepon.

"Tapi ingat dengan rencana kita. Kau jangan coba-coba berkhianat, Sayang."

Hanim geram mendengar ucapan itu. Sial! Kenapa dulu dia setuju dengan rencana itu. Padahal tanpa perlu usaha keras darinya, dia ternyata memang sedang dijodohkan dengan Azka. Seharusnya dia bisa bermain sendiri, tak perli kerjasama dengan calon mantan kekasihnya itu.

***

Jam kerja sudah usai sejak pukul 05.00 tadi, tapi Ana baru menyelesaikan pekerjaannya hingga pukul 07.00. Sekitar satu jam kemudian Ana baru tiba di rumah, dan dilihatnya sebuah mobil terparkir di halaman. Ana tidak mau tahu siapa pemilik mobil itu karena dirinya sudah sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Ana memasukkan mobilnya ke garasi. Setelah keluar dari mobil Ana langsung berjalan masuk ke dalam rumah.

Saat akan memasuki ruang keluarga, Ana mendengar suara tawa yang kedengaran sangat gembira. Entah siapa tamu yang datang ke rumah ini dia tak mau ambil pusing sampai sebuah percakapan membuat telinganya panas.

"Akhirnya kita akan segera jadi besan ya, Mar. Jadi, acara pertunangan akan dilakukan seminggu lagi kan?" Ucap Sandra antusias.

Terdengar suara tawa meriah dari mereka yang membuat Ana jadi penasaran dan mengintip di balik dinding yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang keluarga. Dilihatnya di sana duduk Azka,  Hanim, kedua mertuanya dan dua manusia laknat. Tak sudi dia menyebutnya sebagai ayah dan ibu tiri. Cihh!

"Ya, kita adakan hari Sabtu, malam minggu saja." Ucap Sandra. "Kamu setuju kan Azka?"

Azka tak langsung menjawab pertanyaan mamanya. Dia terlihat sedang berpikir, namun akhirnya dia menjawab. "Ya."

Ana langsung membalikkan badannya dan bersandar di dinding dengan wajah ditengadahkan karena tiba-tiba kakinya seperti tidak bertulang. Dadanya terasa sesak dan air matanya jatuh di pipi mulusnya. Mendengar jawaban Azka rasanya dunia seakan runtuh dan separuh nyawanya menghilang. Dan dia akhirnya menyadari sesuatu. Dia memang mencintai Azka. Rasa tak sukanya melihat Azka dengan wanita lain, itu karena dia mencintai Azka. Dulupun saat masih SMA dia sangat menyukai Azka, tapi karena dikiranya Azka anak orang miskin, dia mengingkari perasaannya, karena dia bertekad tak ingin menjadi miskin terus jika dia bersama Azka. Menurutnya, mana ada pasangan yang sama-sama miskin akan bisa kaya. Yang ada keduanya harus terus bekerja keras hanya untuk mencari sesuap nasi. Seperti ayah dan ibunya dulu.

Tak tahan mendengar percakapan mereka lagi, Ana naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya untuk menumpahkan segala perasaan pedihnya.

===========

05092018

FORBIDDEN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang