T W O

240K 17.6K 1.3K
                                        

"Han. Han. Hana!"

"Eh! Sorry. Kenapa Ren?"

Aku tidak fokus sejak pertemuan mendebarkan dengan seorang pria paling sexy yang pernah kulihat tadi sore. Entahlah, bayangan akan dirinya yang berdiri, menjulang tinggi dihadapanku seakan tidak pernah pergi dari pikiranku. Kuakui, aku terpesona padanya tapi aku tidak pernah sampai segalau ini setelah bertemu dengan pria asing.

Biasanya aku mudah lupa dengan wajah orang, apalagi kalau saling melewati saja. Tapi sekarang? Wajah tampan dengan jambang tipis dirahang, mata biru gelap, serta rambut coklat kehitaman yang acak-acakan milik pria itu terus terngiang-ngiang dikepalaku.

Hah.. ada apa denganku sebenarnya? Tidak mungkin aku menyukainya bukan? Kami baru bertemu, bahkan aku tidak tahu nama pria itu.

"Kamu melamun terus. Ramen kamu mulai ngembang tuh." Rendra menunjuk mangkuk ramen di depanku dengan sumpit dijari tangannya.

Aku dan Rendra sedang makan malam di kedai ramen yang berada di dekat gedung apartemen kami. Awalnya kami ingin delivery saja, tapi aku yang mengajak Rendra untuk keluar karena ingin menikmati udara New York di malam hari.

Kedai ramen itu tidak terlalu ramai. Tempatnya juga tidak terlalu besar. Hanya ada enam meja di dalam. Sejak aku masuk ke dalam kedai ini, aku langsung tahu yang mana pemiliknya. Seorang pria yang kuduga memang orang Jepang asli, dan sepertinya usia pria itu masih tergolong muda. Sekitar dua puluh atau tiga puluhan mungkin.

Aku lantas melihat ramen milikku, dan nafsu makanku langsung hilang. Benar kata Rendra, mie-nya sudah mengembang. Perlu diketahui, aku benar-benar tidak berselera melihat mie mengembang.

Setelah menjauhkan mangkuk, aku menopang dagu ke atas meja, "aku tadi ketemu bule ganteng banget Ren."

Terdengar bunyi tersedak dikerongkongan Rendra setelah aku bicara seperti itu. Teman baikku ini sontak melotot dan mengelap sekitar mulutnya dengan tisue.

"Ketemu doang atau gimana?" tanyanya sok menginterogasi. Dia selalu khawatir jika aku mulai bicara soal pria. Kadang Rendra bersikap seperti kakak yang protektif kepadaku.

"Ketemu doang. Sepas-pasan gitu di lobby waktu aku mau ambil hp." Aku mengaduk-aduk jus jeruk, "tapi Ren—sumpah deh. Dia ganteng banget. Macho. Pas liat dia, aku merinding saking kagumnya."

Aku mengusap tengkuk leherku dan membayangkan betapa intensnya kami berpandangan satu sama lain. Hanya dari tatapan matanya saja, aku bisa meleleh.

Rendra menyentil dahiku agak kuat, "jangan lebay. Memangnya dia ganteng banget sampe bikin kamu merinding?"

Memori diotakku kembali memutarkan moment pertemuan tadi sore. Seketika aku mengangguk. "Ya. Ganteng banget. Aku kasih nilai 98 untuk dia."

"98? Berarti aku 100 dong?" Rendra menunjuk dirinya sendiri dengan percaya diri. Aku merespon dengan akting ingin muntah.

"98 itu hampir sempurna dan 100 cuma untuk Tuhan! Bukan kamu!"

"Kenapa gak 99?" Rendra bertanya sambil menyesap susu kocok coklat miliknya.

"Nilai 99 cuma buat suami aku nanti. Jadi sekarang, aku cuma bisa nilai bule itu 98."

Rendra mengangguk seolah mengerti. Padahal aku yakin dia tidak terlalu percaya dengan ceritaku. Sebenarnya, aku juga tidak percaya jika aku mengalami kejadian begitu ajaib seperti ini. Seperti di dalam novel. Bertemu dengan pria asing yang super tampan dan memikat.

Aku kira, pria jenis seperti itu hanya ada dalam cerita fiksi. Ternyata setelah aku datang ke New York, aku bisa menyaksikan langsung pria tampan dan memikat seperti pria yang kutemui di lobby. Coba Afifah juga datang kemari, aku jamin dia pasti seru sendiri melihatnya.

Trapped by You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang