Part 25

10.7K 776 114
                                    

"Kemeja mana?" pinta Zaki. Ella menatap tajam sang teman, ia bahkan belum turun dari jok motor namun Zaki sudah menagih sesuatu yang sebenarnya tidak begitu mendesak. Ella jadi menyesal menerima kemeja yang dipinjamkan oleh sang teman. Oke, kedepannya Ella akan berpikir panjang jika menerima sesuatu dari Zaki.

"Kemeja doang woi, nggak bakal gue jual." Pagi hari mood Ella sudah buruk karena ulah Zaki yang terkadang tidak bisa ditebak. Lihat saja sekarang, Ella ingin memberikan pukulan tepat di wajah Zaki. Biar saja wajah gantengnya jadi tercemar, Ella tidak peduli. Tapi tunggu, sejak kapan dirinya menganggap Zaki ganteng? Ella seakan lupa bahwa saat pertama kali melihat Zaki ia sudah jatuh hati karena wajahnya. Namun setelah berteman dan mengenal cukup dalam, Ella terus saja mengelus dada karena tingkah yang diluar dugaan.

"Aku bukan takut karena kamu jual, tapi aku takut kemeja itu malah kamu pajang di kamar."

Zaki berkata dengan pedenya. Bahkan Ella sampai tidak percaya susunan kata itu akan keluar dari mulut Zaki. Apa-apaan tingkat kepedean itu? Sarapan yang ada di dalam perutnya mendadak ingin keluar.

"Pede amat Pak, kamu emangnya siapa?" Ella mulai mengeluarkan kalimat dengan intonasi yang lebih besar daripada sebelumnya.

"Aku?" beo Zaki sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Enggak," balas Ella jengah.

"Lah terus siapa?" Zaki memasang wajah polos. Tangan Ella sudah gatal ingin mencakar wajah tersebut.

"Anak orang," jawab Ella random, ia lantas turun dari motor. Tentu saja Ella tidak melupakan jaket dan juga helm yang masih terpasang. Hal yang harus Ella perhatikan sebelum meninggalkan motor adalah hijab. Bisa saja karena angin hijabnya menjadi hancur atau ada rambut yang tidak sengaja keluar. Sejauh ini aman terkendali, Ella memilih untuk meninggalkan kaca spion.

"Masih pagi udah marah-marah nggak jelas," gerutu Zaki yang berada di belakang Ella.

Langkah Ella langsung terhenti. Jika saja Zaki tidak memiliki refleks tubuh yang baik, maka bisa dipastikan ia menabrak tubuh Ella.

"Kamu ngomong apaan?" Ella berusaha untuk fokus agar bisa mendengar perkataan Zaki dengan jelas. Dia bukan tidak tahu apa yang Zaki gerutu kan di belakang dirinya, hanya saja ia ingin memastikan kembali.

"Nggak ada," balas Zaki beralibi. Ella tertawa dengan tidak niat. "Udah deh Ki. Pagi-pagi jangan buat mood gue tambah hancur." Ella memberikan peringatan kepada sang teman, apalagi sekarang ia masih dalam tahap kedatangan tamu bulanan. Wajar bukan jika emosional Ella mudah terpancing? Apa hanya Ella sendiri saja seperti itu? Entahlah, namun sebaiknya dalam kondisi apapun kita harus mampu menahan emosi agar tidak mudah meledak-ledak.

"Aku salah apaan coba?" Zaki masih tidak ingin menyadari kesalahannya sendiri. Ella menatap dengan tidak niat, ia bahkan memutar bola mata dengan malas. Apa sang teman benar-benar tidak sadar atau pura-pura tidak tahu? Hal ini masih terlihat abu-abu dan Ella memiliki banyak spekulasi soal ini.

"Udah udah, aku jadi badmood!" Ella langsung berbalik arah dan melangkah pergi meninggalkan Zaki. Jika dia tidak bergerak, maka akan terjadi drama yang tidak diinginkan sama sekali.

Zaki tertawa kecil tanpa sadar, hanya beberapa detik saja karena setelah itu tangannya langsung menutup mulut agar berhenti tertawa. Bisa bahaya jika ada orang yang melihat dirinya.

Tidak lucu bukan jika gosip yang tidak benar mengenai dirinya malah tersebar kemana-mana. Zaki mulai menghayal tidak jelas, ia bahkan sampai geleng-geleng kepala memikirkan tentang pikirannya sendiri.

"Aku minta kemeja doang," ujar Zaki yang tidak kunjung berhenti membahas tentang kemeja.

Mereka berdua sudah masuk ke dalam gedung perusahaan lantai bawah. Tentu saja mereka harus melakukan absen pagi agar tidak dicap sebagai karyawan yang selalu terlambat datang.

"Besok aku balikin. Kamu tau sendiri aku malas banget kalau soal nyuci," jelas Ella agar Zaki bisa mengerti dan tidak bertanya lagi soal kemeja. Ia sudah seperti penagih hutang saja.

"Nggak boleh malas-malas Ella," ujar Mbak Nana yang kebetulan berada di belakang mereka. Suara Ella tidak bisa dikatakan pelan, bahkan sebenarnya beberapa orang mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya. Hanya saja mereka tidak menunjukkan hal tersebut dan melanjutkan aktivitas masing-masing.

"Eh Mbak Nana." Ella malu sendiri. Kalau sudah bersama Zaki, ia tidak sadar tengah berada dimana. Ayolah Ella, ini bukan cafe atau lingkungan kampus.

"Pagi-pagi udah ribut aja, kali ini masalah apa lagi?" Mbak Nana bertanya dengan nada bercanda. Hampir setiap hari Mbak Nana melihat kedua juniornya itu berdebat. Hal seperti ini sudah biasa dan Mbak Nana tidak akan kaget sama sekali. Hanya saja mereka tidak pernah adu fisik secara langsung, palingan hanya main lempar benda-benda tertentu saja. Itu pun Ella yang sering melakukannya karena sudah sangat kesal yang tidak bisa melawan dengan kata-kata.

"Nggak apa-apa, Mbak," jawab Zaki mewakili.

Ella mendengus kelas. Nggak apa-apa katanya? Ingin rasanya Ella tertawa sekarang juga. Ia berusaha untuk tidak peduli dan melakukan absensi dengan id card miliknya. Zaki dan Mbak Nana juga melakukan hal yang sama.

"Kemarin pulang jam berapa?" tanya Mbak Nana.

"Jam lima lewat kayaknya."

"Jam lima lewat."

Ella dan Zaki menjawab dengan bersamaan walaupun kata yang terucap tidak sepenuhnya sama.

"Bukannya kamu jam empat tiga puluh udah siap-siap mau pulang ya, Ki?" Mbak Nana berusaha menahan tawa.

Zaki berusaha untuk mengendalikan wajah agar terlihat seperti biasa. Namun gerakannya tidak bisa dikendalikan, buktinya sekarang dirinya sudah garuk-garuk kepala tidak jelas.

"Palingan cari WiFi Mbak," jawab Ella mewakili. Ia menjawab secara asal saja.

"Apa benar, Ki?"

Zaki menyengir tidak jelas. "Iya Mbak, berhubung nggak ada yang pakai karena sebagian karyawan sudah pada pulang."

"Bilang aja kalau kamu nungguin Ella," ujar Mbak Nana tersenyum.

"Enggak lah, Mbak!" Zaki menjawab dengan sangat cepat.

"Nggak usah bohong segala, kamu jujur aja kenapa sih?" Mbak Nana jadi geram sendiri. Apa semua tingkah Zaki hanyalah wujud dari pertemanan semata? Mbak Nana rasa tidak begitu, pasti ada perasaan aneh yang timbul. Hanya saja Zaki berusaha untuk memanipulasi rasa tersebut.

"Ngapain juga saya nunggu dia Mbak," jelas Zaki menguatkan argumen sebelumnya.

"Iya Mbak, kenapa juga dia nungguin aku?" Ella malah mendukung alasan yang Zaki berikan.

"Terserah deh, kalian memang pintar dalam belajar tapi bodoh dalam memahami rasa." Mbak Nana akhirnya angkat tangan. Biarkan saja mereka berdua terlibat dalam hal yang sebenarnya tidak rumit tapi dirumit-rumitkan. Mbak Nana memilih untuk duduk di meja kerja miliknya karena mereka sudah sampai di dalam ruangan.

Ella dan Zaki saling pandang tapi hanya beberapa detik saja, setelah itu mereka mengangkat bahu karena sama-sama tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh seniornya itu.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, saatnya mereka mulai bekerja. Zaki, Ella dan Mbak Nana sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Suasana ruangan mendadak sunyi, namun ada juga suara yang timbul apabila ada salah satu diantara mereka yang bertanya kepada salah satu yang lain. Tentu saja dalam pekerjaan mereka harus saling bekerja sama satu sama lain.

Please, Look At Me! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang