Patah Hati

24.8K 1.2K 38
                                    

Ella berteriak dengan cukup keras. Sudah 2 bulan tetapi tidak ada pesan masuk satupun pada ponselnya. Jujur saja, baru kali ini Hendra tidak mengirimkan pesan selama itu. Bayangkan saja bagaimana kalutnya Ella sekarang, bahkan cukup mengganggu fokusnya saat bekerja.

Apa yang bisa Ella lakukan sekarang?Apa Hendra juga menunggu kabarnya di sana? Oke, Ella tidak boleh egois. Selama ini dia memang jarang untuk menghubungi lebih awal karena gengsi yang terlalu besar. Bahkan Ella menghapus nomor Hendra dari kontaknya agar tidak bisa menghubunginya. Lucu kadang, tapi Ella hanya tidak ingin mengganggu. Apalagi Hendra tengah pusing menyelesaikan tesis yang tidak mudah tentunya.

"Kenapa teriak dari tadi?" ujar Ayah yang tiba-tiba sudah berada di dalam kamar Ella.

Ella kaget, bahkan dia hampir jatuh dari ranjang karena posisinya memang berada di pinggir ranjang.

"Eh Ayah!" balas Ella langsung berdiri. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil menyengir.

"Ada masalah?" tanya Ayah.

Ella langsung menggeleng kemudian mengangguk dan membuat Ayah jadi bingung anaknya ini kenapa.

"Eh enggak ada kok, Yah," balas Ella dengan cepat agar sang ayah tidak khawatir. Dia menggigit kukunya karena gugup, jangan sampai sang Ayah tahu anaknya sedang dalam mode galau. Bisa-bisa dia mendapat ceramah yang luar biasa panjang dan amat membekas nantinya.

Ayah mendekat, Ella bahkan memejamkan matanya. "Coba cerita, ada apa?" Ayah bertanya dengan nada lembut. Meskipun begitu, Ella tidak akan mau mengatakannya.

"Nggak apa-apa, Yah. Cuma pusing karena kerjaan doang." Ella menyengir.

Ayah mulai memberi nasehat kecil, bahkan ayah bercerita tentang orang-orang yang kehidupannya tidak seberuntung Ella. Hal ini berguna agar Ella bisa bersyukur dan tidak mengeluh dalam hidup.

Setelah mengobrol santai, Ayah keluar dari kamar. Ella  langsung mengambil ponsel dan membuka akun sosial media yang sudah 1 tahun ini tidak digunakannya. Ella tipe orang yang mudah larut pada satu hal sehingga lebih baik dihindari. Menghapus aplikasi sosial media adalah cara instan yang dia lakukan agar tidak menjadi kecanduan. Tujuan Ella hanya satu, dia ingin melihat dan memastikan sesuatu pada akun sosial media Hendra.

Ella harap-harap cemas, bahkan beberapa pesan yang masuk sama sekali tidak dihiraukannya. Bagaimana jika Hendra yang mengirim pesan? Tenang saja, dering notif Hendra berbeda dari yang lain saking spesialnya.

Ella menutup mulutnya saking tidak percayanya. Semua perasaannya sedang campur aduk sekarang saat hal pertama yang dia lihat adalah postingan dari Hendra yang memuat foto dirinya sendiri yang tengah berada di sebuah café. Apa menghubunginya sesulit itu? Padahal Hendra cukup aktif di sosial media. Ella tidak meminta untuk selalu di hubungi, dia hanya ingin Hendra memberi kejelasan bagaimana dia di sana. Sudah itu saja, tetapi kenapa semuanya jadi begini. Logika Ella tidak mampu untuk memahami.

Ella langsung mencari nomor kontak Hendra yang dia tulis di sebuah kertas. Dia mengetik digit-digit yang tertulis di sana dan langsung menyimpan dengan nama "Hendra". Tidak ada lagi embel-embel Mas seperti biasa.

Ella langsung menunduk dalam, air matanya tiba-tiba keluar saat melihat profil Hendra memuat gambar seorang perempuan yang sama sekali tidak Ella kenal. Perempuan itu bukan kakak, adik atau bahkan saudara perempuan Hendra. Tangan Ella mengepal, dua bulan ini dia masih menunggu dan berusaha berpikir positif tetapi kenapa dibalas kejam seperti ini.

"Tenang Ella, kamu nggak boleh gegabah!" Berulang kali Ella meyakinkan dirinya sendiri agar tetap berpikir jernih. Dia langsung mengirim pesan.

Ella : Assalamu'alaikum Mas, gimana kabarnya sekarang?

Ella masih menunggu balasan pesan itu, tetapi sayang sudah 30 menit berlalu tidak ada tanda-tanda akan mendapat balasan. Apalagi centang pesan itu tidak berubah warna dari tadi padahal Hendra sedang online. Ella masih menunggu, dia kembali mengirim pesan.

Ella : Kamu marah sama aku ya?

Ella : Aku minta maaf kalau ada salah.

Ella : Kalau ada waktu balas pesan aku ya, semoga Mas sehat-sehat aja di sana.

Hasilnya tetap sama yaitu tidak mendapat balasan sama sekali. Ella langsung mendial kontak tersebut, panggilan masuk tetapi tidak di angkat sama sekali. Ella melakukan panggilan sebanyak 5 kali dan endingnya juga sama.

Ella meletakkan ponsel di atas meja, dia tidak mampu menahan isak tangisnya lagi. Kenapa rasanya sakit begini? Apa ini yang dinamakan patah hati? Kenapa dia harus mengalaminya, sakit sekali.

Ella terbayang segala perkaatan Hendra selama ini. Hendra menyuruhnya untuk menunggu sampai pendidikan S2 nya selesai. Jika sudah selesai, maka Hendra akan langsung melamar Ella.

Ella kembali berteriak tetapi kali ini mulutnya tertahan bantal sehingga tidak terdengar oleh orang di luar kamarnya.

Sekarang sudah pukul dua belas malam. Ella masih menangis karena rasa sesak di dadanya. Dia baru pertama kali merasakan hal ini. Apa memang sesakit ini?

"Kamu kenapa tega banget sama aku?" lirih Ella sambil menatap pesan yang tidak mendapat balasan itu.

"Kenapa nggak bilang baik-baik kalau udah nggak mau sama aku. Kalau gini, kamu jadi orang yang jahat banget!"

"Jadi ucapan selama 1 tahun ini Bullshit doang?"

"Aku udah kasih hati dan pecaya tapi malah balasannya begini."

"Nggak punya hati, seharusnya omongin baik-baik. Udah sama-sama dewasa gini, tapi main tinggal aja. Hendra jahat!"

Ella langsung melempar ponselnya begitu saja, tenang saja dia tidak akan melempar ke lantai. Ella masih bisa berpikir dengan baik. Ella masih saja menangis, entah kenapa sesakit ini. Bayang-bayang Hendra selalu berputar-putar di dalam kepalanya. Ia bahkan sampai tertidur karena sudah kelelahan menangis.

Keesokan harinya seharusnya Ella semangat untuk memulai hari, namun kenyataan berbeda. Ella tidak keluar-keluar dari kamar. Bahkan setelah shalat subuh, dia kembali berbaring ke ranjang dan tidur. Setidaknya dengan tidur membuat hari cepat berlalu. Apalagi sekarang weekend. Gedoran pintu dan panggilan dari sang Ibu membuat Ella mau tidak mau harus bangkit dari ranjang.

"Makan dulu, udah jam sepuluh."

Ella melihat jam di dinding, ternyata memang sudah jam sepuluh pagi. Dia bahkan tidak membantu sang Ibu memasak hari ini. Kenapa hidup Ella menjadi seperti ini. Dulu dia berkoar-koar seakan-akan hatinya kuat, jika Hendra meninggalkannya maka dia akan baik –baik saja. Nyatanya Ella salah besar. Dia tidak bersemangat untuk menjalani hari. Kamar berantakan, bahkan tidak mandi sama sekali dan juga matanya sudah membengkak.

"Iya Bu, sebentar lagi, " balas Ella dengan kepala yang terasa sedikit berat.

"Kamu sakit? Buka pintunya dulu."

"Enggak kok Bu, nanti aku keluar buat makan."

Setelah mengatakan itu, suara sang Ibu sudah tidak ada lagi. Ella bersusah payah untuk bangkit dari ranjang. Dia mencari ponsel pertama kali, kali saja Hendra membalas pesannya. Namun notifikasi pesan nol. Dada Ella kembali terasa nyeri. Dia menangis dalam diam sambil memegang dadanya yang terasa sesak sekali.

Ella memutuskan untuk mandi, semoga saja Ibunya tidak bertanya yang macam-macam ketika melihat anaknya jadi berantakan begini. Pukul sebelas barulah Ella keluar dari kamar.

"Kamu sakit?" tanya Ayah yang baru masuk rumah.

Ella menggeleng lemah.

"Kenapa? Mau cerita sama Ayah?"

Ella lagi-lagi menggelang, "Aku nggak apa-apa ya. Semalam nonton film sedih terus nangis gitu." Ella tidak berbohong, dia memang menonton film sedih semalam namun air mata yang keluar hanya sekedarnya saja.

Ayah mengelus rambut Ella sejenak, ayahnya memang sering berada dirumah karena sudah tidak bekerja seperti dulu lagi. Aktivitas Ayah Ella palingan melihat kebun sawit ataupun kebun sayuran yang berada di samping rumah sedangkan Ibu Ella dulunya adalah guru TK dan sekarang sudah berhenti bekerja.

Please, Look At Me! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang