14. Roda Kehidupan

6.7K 300 7
                                    

Hari ini cuaca mendung dengan sedikit gemercik, hujan menyelimuti gemuruh hati yang sedang dilanda kepedihan. Rayya menatap ke arah halaman luar yang hijau nan seri. Kemudian pandangannya beralih ke sosok wanita yang tengah duduk di kursi roda dengan pandangan kosong.

Kemudian, Rayya mencoba meringkuh Ibundanya yang hanya terdiam sejak tiga jam yang lalu saat ia datang. Tak ada satu patah katapun yang terucap untuk Rayya.

"Bun, Rayya sayaaaaaaang banget sama Bunda. Bunda sehat-sehat ya, gak boleh nyakitin diri sendiri. Nanti Rayya sedih jadinya kalo Bunda sakit," ucapnya dengan nada kekanak-kanakan.

Rayya terpejam sembari tetap memeluk Ibunya meski perempuan itu tak membalas pelukannya, tak melihatnya, dan juga tak merasakan kehadirannya.
Tidak apa-apa, ini adalah hal yang lumrah bagi Rayya.
Bahkan ia sudah lupa bagaimana rasanya dipeluk seorang Ibu.
Terakhir sekitar lima tahun yang lalu.

Ceklek.
Bunyi suara pintu terbuka membuat Rayya melepas pelukan dan berdiri tegap melihat si pembuka pintu.

"Nenek?"
Rayya tersenyum bahagia.

Neneknya yang masih muda itu berjalan mendekati Rayya. Lalu meraih wajah cucunya dengan ekspresi sedih. Memang sudah dua hari ia tak melihat neneknya itu karena nenek Asri sedang menjalani operasi cuci darah di rumah sakit yang mengharuskan ia tinggal di sana selama dua hari.

"Nenek kenapa jahat sama Rayya?" ucapnya dengan meneteskan air mata. Neneknya hanya duam membuat Rayya menjatuhkan air mata dengan deras. Tangisan Rayya tak dapat terbendung lagi saat ini. Sakit. Itulah yang ada dalam hatinya saat ini. Bahkan yang ia tahu, neneknya adalah wanita yang sehat. Tapi nyatanya menyembunyikan penyakit seserius itu.

"Nenek baik-baik aja."
Lalu menarik Rayya ke dalam pelukan.
Air mata nenek Asri terjatuh membasahi baju Rayya begitupun Rayya.

"Aku nggak mau kehilangan semuanya yang berharga dalam hidup Rayya, Nek," ucapnya masih dengan isakan tangis.

"Tenanglah, Cu. Nenek tidak apa-apa."
Neneknya mencoba meyakinkan.

Rayya semakin mengeratkan pelukannya,
"Bahkan sekarang nenek masih bisa ngomong baik-baik aja, dan bilang nggak papa. Tapi itu justru nyakitin Rayya, Nek. Rayya tau kondisi nenek. Rayya tau. Tapi kenapa Nenek menyembunyikan ini semua. Kenapa Rayya harus tau dari orang lain? Kenapa, Nek?!"

Entah harus berbicara seperti apa lagi, yang ada hanya tangisan yang menggelegar di kamar ibundanya.

♡♡♡

Usai menyuapi Ibundanya, Rayya mengelap makanan yang belepotan di sudut bibir Maya. Tak ada respon yang terlihat. Yang Rayya lihat hanya ekspresi datar dari Ibunya.
Andai kata ia bisa mencegah semua ini, ia pasti sudah bahagia di dalam pelukan Ibunya. Namun takdir tetaplah takdir. Takdir adalah ketetapan yang tidak dapat diubah. Seperti halnya perasaan seseorang yang sudah mati.

"Nak, ada teman kamu kesini," ucap Neneknya ketika Rayya masih memandangi Ibunya. Rayya menoleh pada Neneknya lalu mengernyit.

"Siapa nek?"

"Keluarlah. Dia menunggumu," ucap Neneknya, lalu menghilang di balik pintu.

Rayya pun beranjak dari duduknya di tepi ranjang, lalu mendorong Ibunya untuk ikut keluar juga.

"Rangga?"

Rayya terkejut setengah mati. Pasalnya, belakangan ini ia tak terlibat dengan pacarnya itu. Entah, ia harus menganggapnya apa. Namun, ia juga sudah bosan dengan pria itu. Padahal, ia ketempat Neneknya hanya akan menghindari Teddy dan siapapun itu. Tapi ini, Rangga justru sangat mengebalkan. Menemui dirinya disaat yang tidak tepat.

Brondong Jaim (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang