8. Ide Baru

7K 317 5
                                    

Rayya tersenyum bahagia, mengagumi dirinya ketika melihat pentulan cermin di depannya. Memperlihatkan sosok gadis cantik berambut blonde, dengan postur tubuh yang indah. Rayya yakin, semua pria di luar sana pun menganggapnya wanita idaman. Bagaimana tidak, tubuh dan parasnya memang mencerminkan sekali bahwa ia seorang wanita idaman.

Oke. Cukup. Membanggakan diri sendiri secara berlebihan itu tidak baik.

Lalu ia memutuskan keluar dari kamar,  berjalan menuju mobil yang sudah menjemputnya.

"Kau terlihat bahagia sekali, Nak?"
pertanyaan itu membuat Rayya memutar mata jengah. Gadis itu masih melipat tangan ke dada dan malas bicara. Kalau saja bukan acara di rumah Teddy, ia tak akan mau pergi bersama Ayahnya.

"Jadi kamu suka sama Teddy?"
kali ini pak Galih yang notabennya sebagai kepercayaan Ayahnya pun angkat bicara.

"Kalian nggak perlu tau lah ya, yang harus kalian lakukan itu jodohin saya sama dia!"
nada bicaranya meninggi membuat Artajaya menghela napas berat.

Rayya dimata Artajaya adalah sosok anak manis yang sangat ia sayangi. Namun sikap anaknya membuatnya sangat terpukul. Memang benar ia salah, namun karena kekhilafan membuatnya terjerembab ke dalam ruang hina.

Artajaya memang mengakui bahwa ia sudah menyakiti ibu Rayya. Namun tak ada alasan lain lagi bahwa Artajaya memang ingin memadu Maya. Bukan karena tak cinta, sebenarnya hanya ingin menolong wanita yang tengah mengalami kesulitan dalam hidupnya. Bahkan dalam islam pun poligami diperbolehkan. Naasnya, Maya, ibu Rayya tak pernah menyetujui ini. Dan Artajaya nekat.

Sesampainya di sebuah rumah yang sangat ramai. Rayya segera merapikan rambutnya.

"Jadi kalian harus ingat ya, rayu keluarganya. Buat mereka suka sama gue."
Lalu turun dari mobil dengan sangat anggun.

Mereka bertiga berjalan dengan Rayya di belakang. Sengaja tak ingin menampakkan batang hidungnya sebelum bertemu Teddy.

"Selamat datang di rumah kami, Pak Arta. Terima kasih sudah meluangkan waktu," sapa seorang lelaki yang entah siapa, Rayya tak tahu.

Mata gadis itu terus menyapu mencari sosok Teddy ataupun teman-teman Teddy di sini.

"Mari masuk," kali ini suara seorang perempuan.

Rayya yang masih berada di belakang Ayahnya itu hanya berlipat tangan sembari sedikit menggoda para pria muda ataupun Om-Om di sekitarnya dengan cara mengedipkan sebelah mata.
Centil? Oh tentu saja. Bahkan sifat itu sudah menjadi ciri khas tersendiri untuknya.

"Saya kemari juga bersama anak gadis tentunya," ucap Arta.

"Wah, benarkah?"
Perempuan setengah baya itu terlihat sumringah.

"Rayya, perkenalkan dirimu," pinta Arta.

"Hai Om, Tante, saya Rayya."

Setelah saling memperkenalkan diri, Tuan Diningrat memanggil Teddy. Sedari tadi Rayya sudah tidak sabar ingin melihat reaksi Teddy.

"Perkenalkan dirimu, Nak," pinta Diningrat kepada anaknya itu yang hanya berekspreai datar.

Usai berkenalan dengan Ayah Rayya, Tuan Diningrat mengenalkan Rayya.

"Hai," sapa Rayya dan dibalas senyuman kilas oleh Teddy.

"Ini Teddy." Diningrat tersenyum ke arah Rayya, "Oiya, kalian jadi tak saling kenal? Padahal kalian satu kampus."

"Ken--"

"Tidak," sahut Teddy secara cepat.

Rayya tersenyum.
"Saya mahasiswi semester akhir, Tante," jelas Rayya. Kesal menyeruak di dalam pikirannya. Bagaimana mungkin Teddy pura-pura tak mengenalinya.

"Kamu harus tau, Ted. Rayya ini anak rektor sekaligus pemilik kampusmu. Jadi, kamu jangan bandel ya di kampus," ucap Diningrat, lalu terkekeh.

Arta pun juga terkekeh,
"Oiya, kamu salah satu dari deretan siswa berprestasi ya?"

Teddy menjawab, "Iya Pak."

Rayya tercengang. Ia baru tahu jika Teddy secerdas itu. Pasti ia rajin belajar. Ide baru pun muncul.

"Kalo gitu bagus dong, Rayya bisa kursus sama kamu soal matkul matematika. Dia payah di bidang itu."
Lalu Pak Galih terkekeh.

Rayya mendengus kesal.

"Anak bodoh," celetuk anak laki-laki yang berumur delapan tahun itu.

Rayya melotot ke arah adik Teddy yang bernama Fatir.

"Fatir gak boleh gitu, ah. Mama sama Papa kan gak ngajarin," ucap Mamanya.

"Wleek!"
Lalu Fatir menjulurkan lidah pada Rayya.

Ingin rasanya Rayya menarik telinga anak gendut itu.

"Maafkan Fatir ya, Rayya. Dia belum terbiasa kalau dengan orang baru."

Rayya tersenyum pada Mamanya Teddy,
"Nggak papa Tante."

"Selamat ulangtahun ya, Fatir," ucap Rayya, namun di balas pelototan oleh Fatir membuat Rayya semakin kesal jadinya.

"Ayo Fatir bilang makasih," ucap Pak Diningrat.

"Enggak mau Pah, dia orang bodoh."

"Jangan dimasukin hati ya, Nak Rayya."

"Hehe. Iya Te, nggak apa-apa. Namanya juga anak kecil."
Tersenyum tipis. Dalam hati, awas lo bocil!

"Teddy, jadwal kamu selain kuliah apa?" tanya Arta membuat Rayya melemparkan pandangan penasaran ke arah Teddy.

Pria itu tersenyum lagi membuat siapapun wanita pasti meleleh. Manisssss.

"Ngeband pak," jawabnya setenang mungkin.

Arta manggut-manggut,
"Bagaimana kalau saya menyuruh kamu mengajari Rayya matkul matematika atau matkul lainnya yang ia tak bisa. Saya yakin kamu anaknya cepat paham meskipun belum pernah kamu pelajari."

Senyum Rayya mengembang.
Teddy mati kutu. Sebenarnya hal ini sangat dihindari oleh Teddy. Hari-harinya akan semakin buruk jika bertemu Rayya terus-menerus. Kalaupun ia menolak, sudah pasti tidak mungkin. Papanya pasti akan memarahinya habis-habisan.
Sialnya, kenapa Rayya harus jadi anak rektor itu. Nasib ... Oh nasib.

"Bisa pak. Tapi saya harus atur jadwal dulu supaya tidak keganggu waktu belajarnya Rayya."

Omegoooooott. Rayya tersenyum bahagia sekarang.

TBC.

JANGAN LUPA VOTE ❤️

Brondong Jaim (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang