1.

4.4K 310 0
                                    

Ayo tekan bintang dulu di pojok kiri bawah
.
.
.
.
.
.
.

Selamat membaca


***

Tiga hari telah berlalu sejak pemakaman dan sekarang aku sudah bisa melakukan percakapan tanpa tangisan yang meledak. Hal itu bukan berarti aku kurang merindukan mereka (orangtuaku) atau bahkan aku melupakan kematian mereka, tetapi itu karena aku sudah bisa mengatasinya.

Aku harus bertahan hidup. Sudah seminggu aku meninggalkan beberapa kelasku. Aku tahu aku ketinggalan mata kuliahku, tapi sepertinya aku tidak bisa membawa diriku untuk kembali dulu. Aku telah berbicara dengan koordinator dan konselorku dan mereka berdua memberiku satu minggu untuk mengembalikan diriku.

Pada hari Minggu seharusnya aku sudah siap dan aku diharapkan akan kembali ke kelasku pada hari Senin. Sekarang hari Sabtu pagi, memikirkan hal itu membuatku mual. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan pada hari Senin mendatang. Aku sangat takut.

"Selamat pagi, sayang." Sapa Nana (teman dekat dan rekan kerja ibuku), saat aku mengitari sudut menuju dapur. Aku tinggal bersamanya sejak pemakaman dan aku berterima kasih padanya. Dia telah membantuku mengambil dimana aku terpaksa melakukan sesuatu yang berkaitan dengan properti (rumah) orangtuaku. Dan masih belum terjual sehingga masih ada pinjaman atau hutang yang belum lunas.

"Selamat pagi." Aku langsung menuju teko kopi yang terdengar masih mendesis di atas meja. Nana pasti baru saja membuatnya. "Bagaimana dengan tidurmu?"

"Oh kau tahu, seperti biasanya."

"Berbaring dengan gelisah?" Aku menyeringai.

"Ya." Dia mendesah saat ia membawa cangkir kopinya ke bibirnya lalu menyesap agak lama. "Kau mulai kuliah pada hari Senin besok?"

Aku mengangkat bahu. "Kenapa?"

"Bukankah hari itu seharusnya kau mulai kuliah?" Nada suaranya mengingatkan aku pada sesuatu yang biasa dikatakan oleh ibuku. Terasa menyakitkan dan aku harus mengambil waktu untuk membersihkan tenggorokanku dari isakan dan berkedip agar air mataku masuk ke mata lagi.

"Ya." Jawabku singkat.

"Irene."

Aku memotong kata-katanya. "Aku punya sesuatu untuk ditangani di sini. Rumah belum terjual dan pengacara itu terus menelepon mengenai masalah hutang. Aku tidak mampu membayar kuliah tahun berikutnya dan tidak ada cara bagaimana aku bisa membayar sewa apartemenku sekaligus mempertahankan nilaiku."

"Jika kau mengatakan padaku bahwa kau punya pikiran akan Drop Out dari kuliahmu, young lady, aku akan memukul bokongmu sampai coklat seperti terbakar matahari." Nana mengancam dengan jari menunjuk langsung kepadaku.

Aku bersandar pada meja dan merasakan mataku berkabut lagi. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."

"Well, aku akan memberitahumu apa yang tidak diinginkan orangtuamu kepadamu." Dia membentak. "Mereka tidak ingin kau menyerah pada impianmu menjadi literary agent dan mereka yakin sekali tidak menginginkan kau Drop Out karena takut untuk mengambil tantangan."

Kata-katanya menyakitkan. Aku merasa seolah-olah secara lisan aku ditampar. "Jika kau tahu bagaimana mereka menginginkan aku bangkit untuk menghadapi tantangan itu, tolong beritahu aku, Nana." Bentakku. "Karena aku benar-benar tidak tahu."

"Kembali ke kampus. Dapatkan pekerjaan dan cari teman sekamar untuk membantu mengatasi keuanganmu. Hal ini akan menghabiskan waktumu sampai larut malam dan kau akan kelelahan, tetapi kau akan mendapatkan tempat di kehidupan ini… suatu tempat dimana kau tidak akan maju jika kau tinggal di sini di kota ini. Di sini tidak ada apa-apanya untukmu, Irene."

"Apa yang harus aku lakukan?" Bisikku.

"Aku akan menangani rumah itu, Irene. Butuh waktu untuk menjualnya, itu akan menutupi hutang dan kau bisa bebas."

"Bebas dari tempat orangtuaku dimakamkan." Aku menduga caraku mengucapkannya terdengar getir.

"Kau akan bebas menjalani kehidupanmu."

.

.

.

.

.

.

TBC



Jangan lupa tinggalkan jejak.


Enraptured (Baekhyun><Irene) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang